KH. Moh. Idris Jauhari
(Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan yang wafat tahun 2012)
Oleh Moh. Ghufron Cholid
Berbicara KH. Moh. Idris Jauhari selalu ada sisi yang sangat menarik untuk dibahas, kali ini saya akan berkisah tentang KH. Moh. Idris Jauhari sebagai seorang peredam gejolak.
Menyadari santrinya memiliki ragam kecendrungan dalam bertingkah laku dan berkarya maka KH. Moh. Idris Jauhari lebih memilih menjadi seorang peredam gejolak.
Cerita ini bermula ketika seorang kawan saya yang seangkatan dengan saya, yang juga seorang penulis novel Membunuh Takdir, yang ketika itu ingin mengadakan lounching dan bedah buku di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Novel ini berlatar lombok dan juga berlatar belakang pesantren di Madura. Novel ini mendapat pertentangan keras dari guru senior yang menyetempel novel ini dengan stempel merah alias tak layak dibaca santri.
Ketika kami hendak menyampaikan hasrat untuk mengadakan lounching dan bedah buku novel tersebut, Kiai Idris tersenyum seraya menatap kami.
Novel Membunuh Takdir yang telah kamu tulis Ron, sangat menarik. Putri saya sangat menyukai dan malah novel sayapun juga dibawa ke Malang oleh Hanun. Novel yang saya maksudkan adalah novel Membunuh Takdir karya Fataroni. Saya sudah membaca novel tersebut. Novel ini memiliki catatan khusus dari saya. Novel ini menegaskan seorang santri yang tidak percaya barokah, maka kau harus menerbitkan novel lagi yang merupakan kelanjutan novel ini yang menegaskan bahwa di pesantren masih ada barokah. Kabar baiknya dari Novel Membunuh Takdir bahwa di pesantren masih ada demokrasi. Spontan kami mengangguk mendengar penuturan Kiai Idris.
Saya mulai menemukan binar cahaya di wajah Fataroni karena mendapat sambutan yang bagus atas novel yang ditulisnya, yang kaya kontroversi tersebut.
Lebih lanjut Kiai Idris menegaskan novel ini boleh dibedah di Al-Amien Prenduan selain di TMI, kamu boleh memilih membedah di PONTEG, Putri I atau MTA boleh juga di IDIA namun jangan dibedah di TMI karena tokoh yang ada dalam novel ini adalah seorang yang saya kenal.
Sesekali Kiai menatap Fataroni dan sesekali menatap ke arah saya, kalau Ghufron kamu boleh ikut acara lounching dan bedah buku novel Fataroni setelah RGL (Rapat Guru Lengkap) pondok kita.
Tak terasa malam semakin larut menunjukkan 00.00 WIB dan sayapun beserta Fataroni undur diri ke asrama dengan perasaan bahagia.
Junglorong, 27 Januari 2020
(Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan yang wafat tahun 2012)
Oleh Moh. Ghufron Cholid
Berbicara KH. Moh. Idris Jauhari selalu ada sisi yang sangat menarik untuk dibahas, kali ini saya akan berkisah tentang KH. Moh. Idris Jauhari sebagai seorang peredam gejolak.
Menyadari santrinya memiliki ragam kecendrungan dalam bertingkah laku dan berkarya maka KH. Moh. Idris Jauhari lebih memilih menjadi seorang peredam gejolak.
Cerita ini bermula ketika seorang kawan saya yang seangkatan dengan saya, yang juga seorang penulis novel Membunuh Takdir, yang ketika itu ingin mengadakan lounching dan bedah buku di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Novel ini berlatar lombok dan juga berlatar belakang pesantren di Madura. Novel ini mendapat pertentangan keras dari guru senior yang menyetempel novel ini dengan stempel merah alias tak layak dibaca santri.
Ketika kami hendak menyampaikan hasrat untuk mengadakan lounching dan bedah buku novel tersebut, Kiai Idris tersenyum seraya menatap kami.
Novel Membunuh Takdir yang telah kamu tulis Ron, sangat menarik. Putri saya sangat menyukai dan malah novel sayapun juga dibawa ke Malang oleh Hanun. Novel yang saya maksudkan adalah novel Membunuh Takdir karya Fataroni. Saya sudah membaca novel tersebut. Novel ini memiliki catatan khusus dari saya. Novel ini menegaskan seorang santri yang tidak percaya barokah, maka kau harus menerbitkan novel lagi yang merupakan kelanjutan novel ini yang menegaskan bahwa di pesantren masih ada barokah. Kabar baiknya dari Novel Membunuh Takdir bahwa di pesantren masih ada demokrasi. Spontan kami mengangguk mendengar penuturan Kiai Idris.
Saya mulai menemukan binar cahaya di wajah Fataroni karena mendapat sambutan yang bagus atas novel yang ditulisnya, yang kaya kontroversi tersebut.
Lebih lanjut Kiai Idris menegaskan novel ini boleh dibedah di Al-Amien Prenduan selain di TMI, kamu boleh memilih membedah di PONTEG, Putri I atau MTA boleh juga di IDIA namun jangan dibedah di TMI karena tokoh yang ada dalam novel ini adalah seorang yang saya kenal.
Sesekali Kiai menatap Fataroni dan sesekali menatap ke arah saya, kalau Ghufron kamu boleh ikut acara lounching dan bedah buku novel Fataroni setelah RGL (Rapat Guru Lengkap) pondok kita.
Tak terasa malam semakin larut menunjukkan 00.00 WIB dan sayapun beserta Fataroni undur diri ke asrama dengan perasaan bahagia.
Junglorong, 27 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar