Jejak Langkah

Jumat, 27 Maret 2020

UNDANGAN MENULIS ALUMNI MUNSI 2020

Lesbumi Kedungdung Menulis-Dalam rangka menggairahkan kehidupan sastra, Alumni MUNSI akan menyusun buku antologi (esai sastra, cerpen, dan puisi). Siapa pun boleh ikut, Terbuka untuk umum. Gratis, dan tak berbayar. Tim kurator akan dipilih dari kalangan sastrawan yang kredibel dan terpercaya.

Persyaratan:

1. Antologi ini terbuka bagi warga negara Indonesia, berdomisili di mana saja, siapa saja, segala usia, baik laki-laki maupun perempuan.
2. Tema bebas
3. Setiap peserta hanya boleh memilih mengirim esai sastra atau cerpen atau puisi untuk antologi.
4. Kirim karya terbaik, karya asli, bukan plagiat, atau pun dituliskan oleh orang lain.
Untuk esai sastra: kirim 2 esai maksimal 5 halaman,
Untuk cerpen: kirim 2 cerpen maksimal 7 halaman,
Untuk puisi: kirim 10 puisi, panjang setiap puisi maksimal 40 baris,(Jadi cukup termuat masing-masing puisi satu halaman dalam buku.)
5. Naskah dikirim beserta foto dan biodata terbaru (paling banyak 12 baris/ kalimat), alamat, e-mail, dan nomor telepon. Ditulis dalam satu lembaran/scroll.
6. Pengiriman naskah harus berupa lampiran email, dan bukan di badan email.
7. Silakan kirim karya terbaik Anda, ke email: alumnimunsi2017@gmail.com, dan paling lambat sudah harus diterima pada 30 Maret 2020, pukul 24.OO.
8. Naskah yang masuk akan diseleksi oleh tim kurator/editor yang ditunjuk. Antologi direncanakan terbit dan akan diluncurkan tahun 2020.
9. Tidak ada pungutan uang untuk keikut-sertaan dalam antologi ini, termasuk bagi mereka yang puisinya terpilih.
10. Setiap penulis yang karyanya terpilih dan dimuat akan mendapat 1 (satu) eks. buku sebagai nomor bukti.
11. Tidak diadakan surat-menyurat atau pun kontak lainnya. (R)

Antologi Puisi Melawan Corona



Lesbumi Kedungdung Menulis– Virus Corona atau COVID-19 sudah menjadi wabah dunia. Per tanggal 20 Maret 2020 pukul 17.00, tercatat 244.525 kasus di dunia, 86.032 sembFacebookTwitterWhatsAppLineSMSTelegramGmailEmai yang sama sudah tercatat 369 kasus, 17 sembuh dan 32 meninggal dunia. Berbagai prediksi yang dilakukan oleh beberapa lembaga penelitian mengindikasikan kemungkinan kasus ini akan meningkat di Indonesia sampai beberapa bulan ke depan.

Pemerintah Republik Indonesia juga sudah membentuk Satuan Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Semua potensi bangsa dikerahkan untuk ikut serta menangani wabah ini dengan kemampuan masing-masing.

Bagaimanakah peran penyair? Para penyair tentu tidak akan terlibat langsung dalam penanganan COVID-19 di lapangan. Tetapi para penyair harus mampu menyatukan semua energi positif bangsa dengan cara menggugah kesadaran bahwa ini adalah perang kita bersama.

Untuk itu, Yayasan Dapur Sastra Jakarta ingin menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi dengan tema Puisi Melawan Corona. Melalui buku ini, diharapkan semua energi positif bangsa yang tertuang dalam puisi para penyair akan terkumpul, menggugah kesadaran serta menyemangati kita bersama.

Kirimkan satu puisi Anda tentang Corona atau COVID-19 dari perspektif apa saja ke alamat kreasi.dsj@yandex.com, paling lambat tanggal 31 Maret 2020 pukul 23.55 WIB.

Ketentuannya adalah: terbuka untuk siapapun yang berminat, ditulis dalam Bahasa Indonesia, panjang puisi maksimal 35 baris (termasuk baris spasi), biodata maksimal 50 kata, dikirim dalam bentuk berkas doc melalui mail attachment.

Kurator akan memilih 150 puisi terbaik untuk diterbitkan dalam buku kumpulan pusi Puisi Melawan Corona oleh Yayasan Dapur Sastra Jakarta.

Setiap penyair yang puisinya dimuat pada buku ini nanti tidak diberikan honor dan akan mendapatkan satu buku secara gratis. Jika ingin memiliki lebih dari satu dapat dilakukan dengan mengganti ongkos cetak.

Buku ini tidak akan diperjualbelikan, dan akan dibagikan kepada berbagai perpustakaan dan pihak-pihak yang terkait.

Buku ini diterbitkan oleh Teras Budaya Jakarta untuk Yayasan Dapur Sastra Jakarta. (R)

FESTIVAL SASTRA INTERNASIONAL GUNUNG BINTAN 2020


RIAU (Litera.co.id) – Yayasan Jembia Emas bekerjasama dengan Dewan Kesenian Kepri, Dinas Kebudayaan Kepri, Dinas Budspar Kota Tanjung pinang, Dinas Budspar Bintan , dan Dinas Kebudayaan Lingga, akan menyelenggarakan kembali event Festival Sastera Internasional Gunung Bintan ( FSIGB ) 2020.
Dengan ketentuan sebagai berikut:
1. FSIGB 2020 direncanakan dilaksanakan tanggL 24 sampai 27 September 2020 Di Tanjungpinang, Bintan, Kepri. FSIGB 2020 merupakan kelanjutan FSIGB 2018 dan FSIGB 2019.
2. Tema FSIGB 2020 : Tamaddun Melayu dan tradisi kesusasteraan
3. Kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain : Penerbitan antologi puisi bersama “Jazirah Empat“ untuk peserta yang hadir pada FSIGB 2019, dgn tema : kembara padang lamun dan air mata rindu
4. penerbitan antologi bersama, Jazirah Lima untuk peserta 2020 yang lolos kurasi dengan tema:Laut , Angin dan gemuruh rindu. Tiap peserta diwajibkan mengirimkan maksimum 5 bh puisi, foto diri dan biodata singkat kepenyairan. Peserta yg puisinya lolos kurasi akan diundang mengikuti acara tersebut
5. Penerbitan antologi puisi jazirah 6 khusus untuk penyair Kepulauan Riau dengan tema : Kepri jantung tanah melayu
6. Seminar sastera dengan tema: Tamadun Melayu dan tradisi kesusasteraan dengan sejumlah pembicara dari Indonesia dan Negeri serumpun
7. Baca puisi bersama di sejumlah venue yang jadi tempat kegiatan.
8. Ziarah budaya menelusuri jejak sejarah perlawanan Sultan Mahmud I melawan Portugis di Bintan. Kunjungan lapangan dan presentasi pakar sejarah Kepri.
9. Peluncuran bersama 100 buku puisi peserta FSIGB 2020 yang lolos kurasi. Peserta yang lolos kurasi diminta mengirimkan cover buku puisinya yang terakhir dan satu puisi andalannya untuk dikutip cuplikannya.
10. Bazar kuliner khas melayu lingga : Pesta sagu gubal
11. Panitia hanya menanggung akomodasi ( satu kamar Berdua ) , kosumsi selama acara, dan transportasi lokal selama acara. Panitia tidak menanggung biaya Transfortasi Dari tempat peserta ke Tanjungpinang ( Bintan ) dan juga kembali.
12. Batas waktu penerimaan puisi/naskah /makalah : 30 Juni 2020.
13. Semua puisi, makalah dan naskah lainnya, dialamatkan pada email : fhardelia2@gmail.com
14. Hal hal lain yang belum jelas dapat ditanyakan pada : yuanda Isha 082170703568, via wag jazirah sastera atau kepada Rida K Liamsi, wa 08117001943 atau email : rliamsipku@gmail.com. (R)

Senin, 16 Maret 2020

Kiai Idris dan Sanad Sujud Syukur



Oleh Moh. Ghufron Cholid

Berungtungnya saya diberi kesempatan menimba ilmu di pesantren Al-Amien Prenduan. Pesantren yang memadukan metode pendidikan salaf dengan kholaf.

Lembaga yang berada di kawasan Prenduan yang masih masuk wilayah Kabupaten Sumenep.

Lembaga pesantren yang menganjurkan membaca qunut bagi yang menjadi imam sedang untuk makmumnya sesuai apa yang diyakini. Berqunut boleh, tidak berqunut juga boleh.

Lembaga pesantren yang ketika berada di jenjang pendidikan Tsanawiyah memperkenalkan dan membiasakan bermadzhab Syafi'i sedang ketika Aliyah dibekali pelajaran perbandingan madzhab agar tidak mudah menyalahkan yang tidak sama pandangannya baik dalam berqunut maupun persoalan lainnya.

Alangkah sangat bahagia diberi kesempatan berkenalan dan menjadi santri Kiai Idris.

Kiai yang alumni Pondok Pesantren modern GONTOR namun tetap menyeimbangkan porsi kemaduraannya.

Kiai yang membiasakan sujud syukur tiap kali mendapat karunia. Menurut Kiai Idris sujud syukur bisa dilakukan kapan sajs dan di mana saja.

Bila mendapat karunia bersegera sujud syukur adalah sanad ilmu yang saya terima dari Kiai Idris, kiai tiga serangkai yang pernah menjabat Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien.

Mengerjakan sujud syukur, seperti halnya duduk ketika duduk iftiros (duduk di antara dua sujud) lalu berniat sujud syukur kemudian membaca sajada wajhiya lilladzi kholaqahu wasaqwo sam'ahu wa bashorahu bihaulika waquwatika fainnahu lahawla walaquwwata illa billahil aliyyul adzim. Lalu mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri.

Sujud syukur merupakan bentuk pengakuan rasa terimakasih seorang hamba kepada Tuhannya. Sebuah kesaksian bahwa segala terjadi atas kuasa Allah.

Bersujud syukur berarti telah membuat suatu jalan untuk tidak ingkar atas segala nikmat yang telah diberikan Ilahi.

Junglorong, 16 Maret 2020

Minggu, 15 Maret 2020

Kiai Idris dan Mushallanya yang Melegenda


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Bila anda nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan tentu anda pernah mendengar nama Mushalla Kiai Idris. Sekarangpun anda masih bisa menyaksikan mushalla tersebut tetap tegak berdiri di samping kediamanan.

Jika anda termasuk santri yang nyantri kisaran di bawah tahun 2000 sampai 2011 tentu anda pernah mendengar atau pernah merasakan getaran dahsyat dari kenangan yang dilahirkan mushalla ini.

Di mushalla inilah, tempat para santri yang diburu permasalahan menemukan solusi. Di mushalla ini pula kedekatan seorang santri dengan kiainya begitu terasa.

Di mushalla ini pula, anda bisa lebih tahu sosok Kiai Idris dari jarak terdekat. Andapun semacam menemukan teknik jitu berdekatan dengan kiai. Menyelesaikan persoalan pribadi yang tidak bisa diatasi sendiri.

Kiai Idris tidak hanya sebagai konseptor melainkan seorang aktor. Tidak hanya sekedar pandai beretorika melainkan pandai menerjemah dalam gerakan nyata.

Siapapun anda. Apapun status anda, baik berstatus santri, pengurus ataupun ustad anda dapat berada di mushalla ini, betkonsultasi secara pribadi dengan kiai. Menanyakan segala hal untuk ditemukan jawabannya.

Anda datang dan menunggu kehadiran Kiai Idris di mushalla maka setelah Kiai Idris datang dari masjid, anda bisa curhat layaknya seorang anak curhat kepada ayahnya.

Kiai Idris mungkin sudah wafat. Mushalla Kiai Idris memang tetap tegak berdiri namun Kiai Idris dan mushallanya yang melegenda menjadi satu paket tak terpisahkan bagi siapa saja, yang pernah datang dan berjumpa kiai.

Mushalla Kiai Idris semacam salah satu jalan dari sekian jalan, terapi melenyapkan kegundahan. Ianya akan tetap abadi dalam ingatan yang pernah merasakan berada di mushalla Kiai Idris.

Junglorong, 16 Maret 2020

Kiai Idris dan Teknik Membuka Kancengan


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Kiai Idris merupakan Kiai Generasi Ketiga yang pernah menjadi Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Kiai yang juga seorang alumni Gontor sangat dekat dengan para santri dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan para santrinya.

Berikut adalah kisah tentang Kiai Idris dan Teknik Membuka Kancengan.

Kancengan semacam sihir yang digunakan seseorang untuk mengunci orang lain dengan maksud agar orang tersebut selalu berada dalam kesusahan. Bila dijodohkan maka perjodohannya tidak akan berlangsung lama alias firoq. Dalam bahasa Madura dikenal dengan sebutan reng sangkal.

Keresahan semacam ini, saya tanyakan kepada Kiai Idris dengan maksud apabila ada kenalan yang kena kancengan bisa dibuka. Biar orang tersebut tidak lagi bergelar reng sangkal.

Agaknya Kiai Idris memberikan perhatian lebih masalah ini dan Kiai Idris mengeluarkan ijazah, agar dibacakan sholawat fatih sebanyak seribu kali. Namun sebelum itu dianjurkan untuk tawassul kepada Nabi kepada para guru dan kepada orang yang bersangkutan dengan maksud meminta pertolongan Allah agar kancengan tersebut bisa dibuka dan tak lagi melekat dalam tubuh.

Permasalahan kancengan ini, adalah permasalahan yang urgen agar bisa lebih cepat ditangani. Paling tidak yang diajarkan oleh Kiai Idris termasuk teknik membuka kancengan lewat tawassul dan pembacaan seribu sholawat fatih dengan bersila.

Semoga ijazah ini bisa menjadi jalan terbaik agar kenalan atau orang lain terhindar dari kancengan.

Junglorong, 15 Maret 2020

Jumat, 13 Maret 2020

KH. MOH. TIDJANI DJAUHARI, IJAZAH SHOLAWAT FATIH DAN TANDA TANGAN TERAKHIR


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Sholawat Fatih adalah sholawat andalan pondok pesantren Al-Amien Prenduan, biasanya di segenap acara bacaan ini akan bergema, mengecup langit keridhaan. Adalah hal yang sangat khas pula jika mendapat ijazah amalan di pondok ini tanpa melalui proses mencatat, melainkan dibimbing melalui ucapan.
KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA (Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan yang wafat 2007), merupakan ulama kharismatik yang membubuhkan tanda tangan terakhirnya di ijazah untuk generasi Sunsavista 31 & Sanvalery 17 (Sunser_317). Generasi lulusan tahun 2006 yang berjuluk anak-anak matahari.
Semasa hidup, KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA membekali santri-santrinya dengan amalan sholawat fatih sebanyak 11 kali bacaan saat melakukan perjalanan.
Belakangan sanad amalan ini saya dapatkan dari KH. Ahmad Fauzi Tidjani dengan sanad KH. Ahmad Fauzi Tidjani dari KH. Moh. Tidjani Djauhari dari Kiai Jauhari dari Kiai Chotib dari Kiai Jamaluddin Abdussomad dari guru-gurunya sampai bersambung kepada Rasulullah.
Kalau boleh saya ibaratkan keberadaan sholawat fatih bagi pondok pesantren Al-Amien Prenduan selaksa udara bagi nafas kehidupan maka mengamalkan sholawat fatih yang telah diijazahkan kiai adalah kebaikan.
Kendati demikian KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA tidak mewajibkan para santrinya untuk mengamalkan sholawat fatih. Sholawat ini boleh diamalkan boleh ditinggalkan, kiranya demikian yang saya pahami. Barangkali karena keluasan dan ketawadluan yang dimiliki beliau sehingga ijazah amalan ini menjadi suatu pilihan tetap dijalani sebagai keistiqomahan baik di pesantren maupun luar pesantren atau hanya sebagai serep (pusaka) yang boleh dikeluarkan kapan saja dibutuhkan.
Ketika ijazah ini diberikan dan khusus dibaca saat perjalanan, saya semacam menangkap isyarat bahwa bacaan ini bisa dijadikan sebagai bekal perjalanan dari seorang guru kepada seorang murid. Paling tidak sebagai wasilah atau tameng untuk terus berada di jalur keselamatan beriring keridhaan Tuhan.
Belakangan saya mendapatkan semacam penegasan dari putra sulungnya bahwa ijazah sholawat fatih ini bisa dibaca saban selesai sholat lima waktu sebanyak 11 kali boleh dibaca duduk, boleh dibaca sambil berjalan atau melakukan pekerjaan.
Belakangan saya memahami bahwa para masyaikh semacam hendak menegaskan bahwa sebuah amalan hendaknya dilakukan dengan riang dan tanpa tekanan, yang terpenting adalah keistiqomahan dalam mengamalkan.
Jika kembali mengingat amalan yang diijazahkan KH. Tidjani Djauhari untuk dibaca saat perjalanan barangkali kiai ingin agar dalam bertamasya atau melakukan perjalanan, hati kita hendaknya tetap terhubung kepada Nabi Muhammad, bukan seberapa banyak bacaan tetapi seberapa istiqamah kita membiasakan diri untuk melakukan dan mengeratkan ikatan bathin antara umat dengan nabinya.

Junglorong, 23 Februari 2020

MAGNET DAWUH KH. MOH IDRIS JAUHARI


Oleh Moh. Ghufron Cholid

"Anak-anakku bawalah buku dan pulpen di manapun kalian berada, jangan jadi 'KECOA'!!! Yaitu kelompok calon orang-orang awam." KH. Moh. Idris Jauhari

Sepintas apa yang didawuhkan Kiai Idris terkesan penuh sindiran. Barangkali mendengarnya bisa seakan tersambar petir. Telinga memerah tak terduga namun ketika kita memelankan langkah, merasakan desir angin sampai kedalaman ruh, terasa ada sisipan isyarat yang begitu dahsyat jika tidak sekedar didengarkan melainkan dikerjakan.

Tentu apa yang disampaikan Kiai Idris tidak berhenti kepada perintah hanya sekedar membawa melainkan juga mempergunakan.

Kiai Idris seakan ingin para santrinya, murid-muridnya baik yang masih berstatus santri aktif maupun alumni memberdayakan buku dan pulpen di manapun berada.

Buku dan pulpen lambang keseimbangan dan merujuk kepada seorang pemikir atau seorang yang diharap bisa mencatat apa saja yang dianggap berharga sehingga bisa menjadi manusia yang lebih bermakna.

Kiai Idris seakan ingin menegaskan bahwa sejatinya kita masih thalabul ilmi. Kita masih membutuhkan buku dan pulpen untuk mencatat ragam pelajaran bermakna. Biar segala pemikiran yang telah ada atau segala kemajuan yang pernah dicapai, bisa dilacak dan dipelajari sehingga dari hari ke hari kita tidak termasuk orang-orang yang disinyalir dalam surat Al-Ars sebagai orang merugi.

Buku adalah media untuk menumpahkan segala inspirasi, ragam impian ataupun aneka keteladanan, yang hanya bisa ditempuh jika seseorang menggerakkan pulpennya ke dalam buku lalu mencatat, sebagai temuan yang kelak bisa mendatangkan kebahagiaan.

Buku dan pulpen adalah perpaduan yang saling melengkapi. Buku dan pulpen adalah indikasi yang menjadi tolak ukur seseorang seorang penulis atau tidak.

Melihat dari cara Kiai Idris mempertegas dawuhnya, kita seakan mafhum bahwa Kiai Idris ingin santri-santrinya menjadi seorang yang suka menulis atau seorang penulis, apapun profesi yang ditekuni karena dengan menuliskan sebuah pemikiran dalam buku menjadi bukti bahwa seseorang pernah hidup dan pernah berbagi pandangan.

Memang tidak secara terang-terangan mengucapkan jadilah kalian seorang penulis, namun dengan melihat indikator atau melihat diksi yang digunakan Kiai Idris dalam berdawuh, agaknya santri yang penuh lebih Kiai Idris sukai. Bukti konkritnya adalah Kiai Idris tak hanya sekedar berucap melainkan melakukan yakni menghadiahi para tamu undangan di pernikahan putra-putri beliau dengan buku yang lantas dalam buku tersebut tersemat Moh. Idris Jauhari, DAA.

Bahkan lebih dari itu Kiai Idris berdawuh saya bermimpi melahirkan 1000 penulis dari pondok ini dan dawuh itupun juga dijalankan para santrinya yang lantas banyak lahir penulis dari pondok pesantren bernama Al-Amien Prenduan

Junglorong, 13 Maret 2020

Kiai Nawawi Noer Hasan Sidogiri dan Kedermawanannya


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Tiap kiai selalu memiliki sisi yang menarik untuk dibahas dan diceritakan begitupun dengan sosok ulama bernama Kiai Nawawi Noer Hasan Sidogiri.

Kiai Nawawi memiliki keistiqamahan suka berinfaq. Bahkan jika ada orang membutuhkan uang tanpa ragu akan memberikan pinjaman.

Kisah lain yang lebih menggetarkan hati dari Kiai Nawawi adalah ketika menerim uang 25 rupiah sebanyak tiga kali penerimaan, lalu Kiai Nawawi memiliki tiga tamu maka uang tersebut dibagikan kepada tiga tamunya, masing-masing mendapatkan 25 rupiah.

Kala itu, harga satu sapi setara 5 rupiah. Betapa dunia dalam pandangan seorang Kiai Nawawi adalah sesuatu yang tidak diimpikan kemegahannya. Betapa kedermawan begitu bertahta sehingga gemerlap dunia tak mampu membutakan mata hati Kiai Sidogiri bernama Kiai Nawawi.

Betapa melihat orang tersenyum, terhindar dari kesusahan lebih digemari daripada limpahan harta dunia.

Alangkah sangat bahagia yang sezaman atau orang yang pernah menjadi santri Kiai Nawawi. Betapa nyala hati, telah terpancar di raut wajah kiai khos ini.

Maka wafatnya Kiai Nawawi adalah duka semesta, adalah duka umat Islam.

Jrenguan, 13 Maret 2020

Kiai Idris dan Penghargaan Bagi Dermawan



Oleh Moh. Ghufron Cholid

Bersyukur atau berterimakasih kepada sesama manusia adalah jalan lain bersyukur kepada Allah. Tampaknya itu tidak sekedar sesuatu yang diketahui melainkan dikerjakan oleh Kiai Idris.

Melupakan jasa pribadi dan selalu mengenang jasa orang lain adalah bagian dari hidup yang tak terlupakan.

Kiai Idris benar-benar menjadikan penghargaan yang diberikan kepada dermawan tak hanya diketahui sezamannya melainkan terus menerus diketahui dari generasi ke generasi, hal semacam ini bisa dilacak pada tiap nama asrama yang ada dalam pesantren Al-Amien Prenduan, sebut saja misalnya Aljufri, Amunir dan lain sebagainya. Penamaan tersebut bukan terbentuk dengan sendirinya dan tak memikiki latar belakang, semua dilakukan oleh Kiai Idris untuk terus mengingat jasa para dermawan, yang ikutserta menyumbangkan materi sehingga asrama tersebut jadi dan layak huni.

Saya kira, apa yang dilakukan Kiai Idris merupakan cara untuk tetap menghidupkan kebaikan orang lain, yang pernah diberikan ke pondok.

Tak hanya itu, peran penting orang-orang yang ikutserta membuat Al-Amien Prenduan menjadi besar seperti yang bisa kita saksikan. Nama-nama orang tersebut berada dalam catatan sejarah yang telah diabadikan oleh Kiai Idris yang kemudian nama-nama tersebut ditulis ulang oleh menantunya Kiai Idris yang bernama Kiai Bagus Amirullah, yang kemudian di desain nama-nama tersebut membentuk  wajah Kiai Chotib yang bisa anda temukan di kantor Elphysika. Atau ruangan yang biasa ditempati oleh Kiai Amir.

Jrengoan, 13 Maret 2020

Kamis, 12 Maret 2020

KH. AHMAD FAUZI TIDJANI: KIAI YANG VISIONER DARI AL-AMIEN PRENDUAN



Oleh Moh. Ghufron Cholid

Kiai Ahmad Fauzi, kiai yang alumni Al-Amien dan pada akhirnya pulang dalam peluk Al-Amien. Kiai yang melanjutkan ekstafeta kepemimpinan pesantren meneruskan perjuangan pendahulunya.

Dalam khidmah yang dilakukan, Kiai Ahmad Fauzi memiliki mimpi besar pada santri-santrinya yang pada akhirnya menjadi alumni di lembaga yang dipimpin dan diasuhnya.

Kiai Ahmad Fauzi berdawuh, Dalam menghadapi ujian ini harus belajar dengan sungguh-sungguh apalagi ini ujian tahap akhir, catat dalam hati kalian: Jadilah yang terbaik (mumtaz). Jika yang terbaik itu 50 orang, maka kalian harus jadi diantara yang 50 itu. Jika yang terbaik 30, kalian harus jadi diantara yg 30 itu. Jika yang terbaik 3 orang, kalian harus jadi diantara yang 3 orang tersebut. Pun jika yang terbaik itu hanya 1 maka kamulah 1 orang tersebut."

Sejatinya Kiai Ahmad Fauzi menegaskan, tak ada jalan lain selain maju ke depan menjadi yang terbaik.

Tak peduli sebarapa banyak dan sedikitnya bahkan jika hanya tersisa 1 orang 1 orang di antara muridnya yang harus mumtaz.

Hal ini menandakan bahwa Kiai Ahmad Fauzi Tidjani adalah seorang Pimpinan dan Pengasuh Al-Amien Prenduan yang visioner.

Pimpinan dan Pengasuh yang memperlakukan tiap santri memiliki kesempatan yang sama dalam menjadi yang terbaik. Namun Kiai Ahmad Fauzi sangat menyadari betapa seleksi alam itu sangatlah nyata, sehingga ada penegasan dari dawuh yang disampaikan. Kiai Ahmad Fauzi berdawuh, "Pun jika yang terbaik itu hanya 1 maka kamulah 1 orang tersebut."

Junglorong, 13 Maret 2020

Ketabahan Seorang Kiai Maktum


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Dan benar-benar kami ujia kalian dengan sesuatu dari ketakukan, kelaparan dan kekurangan harta juga jiwa serta buah-buahan dan jadilah kalian orang-orang yang sabar. Yaitu, apabila mendapat musibah berucap semua dari Allah dan kepada Allah segala kembali."

Menjadi santri dan dipertemukan dengan seorang kiai, adalah berkah yang tidak bisa saya ingkari, dari sosok kiai segala pelajaran berarti bisa dipelajari. Sekali kiai tetap jadi kiai sebab tak ada mantan kiai sekalipun sudah boyong dari pesantren bergelar alumni.

Sakit bisa dialami siapa saja, baik orang biasa kiai ataupun sebangsa nabi. Sakit adalah tanda bahwa seseorang adalah hamba, yang serba berada dalam keterbatasan. Sakit nama lain dari batas sehat. Nama lain kebebasan manusia dalam mendapatkan sehat terikat ruang dan waktu.

Rasa sakit yang dialami manusia merupakan bukti adanya kekuatan maha dahsyat yang sangat tinggi, yang tidak bisa disaingi ciptaan. Sesuatu tersebut kita sebut Tuhan.

Mengenal Kiai Maktum di kala sehat dan sakit, tidak ada perbedaan yang mencolok.

Pimpinan dan Pengasuh Al-Amien Prenduan yang juga alumni Gontor masih mampu menyembunyikan rasa sakitnya di balik senyum, yang kerap diberikan kepada tiap orang yang ditemui. Kening Kiai Maktum masih tetap berbinar. Memancar cahaya, ada kesabaran yang begitu tampak mengakar.

Ketika Kiai Maktum sakit di rawat rumah sakit dekat bandara, saya datang sowan untuk menjenguk sekaligus mengabdi barang sehari. Saya ingin lebih dekat mengenal sosoknya dari jarak terdekat, dari jarak yang bisa disaksikan bukan dari jarak yang mendengar cerita-cerita orang seputar Kiai Maktum.

Paking tidak berada di rumah sakit, berada di dekat Kiai saya menemukan pelajaran berharga bahwa ketika sakit Kiai Maktum, tidak ingin menebar cemas di hati orang-orang dicintainya. Kiai Maktum masih tetap dengan senyum khasnya. Lewat senyumnya, Kiai Maktum seakan ingin berucap sejatinya dalam keadaan baik-baik saja.

Kiai Maktum seakan lebih memantapkan hati bahwa sakit yang dialami beliau adalah jalan cinta yang mesti ditempuh dengan ketabahan. Ketabahan yang ditampilkan tidak dalam bentuk yang penuh cekam, melainkan diperkenalkan secara natural lewat senyum yang diberikan.

Kiai Maktum seakan ingin berpesan bahwa rasa sakit bukan alasan merintih dan menebar rasa cemas. Sakit oleh Kiai Maktum dimaknai jalan ibadah mendekatkan diri kepada Allah lewat jalan sabar dan jalan menyedekahkan senyuman.

Kiai Maktum seakan ingin memberi tahu bahwa tersenyum di waktu sakit adalah cara mengobati penyakit.

Berada di rumah sakit, mengamati dari jarak dekat ketika Kiai Maktum sakit, ada pelajaran berharga bahwa beribadah kepada Allah memiliki ragam jalan dan ketika berada dalam masa sakit, jalan ibadahnya berupa bersabar. Tabah seraya menebar senyum yang rekah.

Paopale Daya, 12 Maret 2020

Selasa, 10 Maret 2020

KH. MOH. IDRIS JAUHARI DAN KEJUTAN TAHUN EMAS PENGABDIAN


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Tak ada yang lebih mendebarkan di tahun emas berada di pesantren Al-Amien Prenduan dikenalkan oleh Kiai Idris sebagai pengurus Yayasan Al-Amien Prenduan termuda di GASERNA.

"Ust. Moh. Ghufron Cholid, silakan berdiri!" Ucap Kiai Idris seraya mengenalkan saya sebagai Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) yang berada di bawah naungan yayasan tepatnya berada di salah satu devisi Lembaga Dakwah.

Menggerakkan tukang-tukang yang bekerja di pondok pesantren Al-Amien Prenduan untuk ikut pengajian Selasaan dan mengatur jadwal kiai mengisi pengajian Selasaan. Di samping itu juga bertugas mengurus pengajian tengah bulanan yang tempatnya selalu berpindah, biasanya di kediaman Kiai Idris (dhalem laok), kediaman Kiai Tidjani (dhalem tenga), kediaman Kiai Maktum (dhalem dejeh).

Lembaga Pemberdayaan Masyarakat adalah salah satu tugas dari tiga tugas tiap ustad yang mengabdikan diri di dalam pondok pesantren Al-Amien Prenduan. Satu tugas di yayasan, satu tugas di asrama (rayon) yang dikenal dengan musyrif dan satu tugas di marhalah yakni tugas mengajar.

Selain tiga tugas yang disandang oleh tiap ustad, kuliah adalah kewahiban yang harus ditempuh bagi ustad yang memilih atau terpilih mengabdi di dalam. Istilah terpilih adalah bagi mereka yang sedari awal dipilih mengabdi di dalam oleh pihak pondok. Dipilih artinya calon guru tugas yang mengajukan mengabdikan diri di luar maupun di dalam namun tetap di letakkan di luar.

Yang mengabdi di dalam pondok secara otomatis menjadi mahasiswa (plus) pagi mengajar sedang siang hingga sore kuliah. Mahasiswa plus memiliki persamaan dengan mahasiswa intensif (orang yang kuliah di Al-Amien dan menetap di Al-Amien) sama-sama dikenai kewajiban menerjemahkan bab dua skripsinya ke dalam bahasa Arab atau bahasa Inggris. Sementara mahasiswa reguler (kuliah di Al-Amien berangkat dari rumah/tempat kos dan kembali ke rumah/tempat kos) dan mahasiswa FORSIKA (guru-guru yang mengajar di lembaga namun kuliah di Al-Amien dan pulang ke lembaganya masing-masing untuk mengabdikan diri) tidak dikenai kewajiban menerjemahkan bab dua skripsinya ke dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris.

Sejatinya kejutan yang diberikan Kiai Idris Jauhari juga menjadi salah satu tiket bagi saya untuk ikut kumpul selasaan, kumpul guru-guru senior dengan majlis kiai membahas program pondok yang telah lalu dengan cara mengevaluasi ulang sekaligus membahas program pondok yang akan datang dan hal-hal lain terkait pondok pesantren.

Junglorong, 11 Maret 2020

KH. MOH. TIDJANI DJAUHARI: KIAI PENYABAR DAN PENYEJUK HATI


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Santri adalah anak ruhani seorang kiai barangkali pembuka tulisan ini terlalu menjustifikasi dan terlalu mengeneralisasi keadaan, pasalnya tidak semua santri memiliki pemahaman dengan kiainya bahkan ada santri yang terlalu ekstrim hingga melampaui norma-norma yang telah diajarkan kiai.

Kiai Tidjani di samping seorang kiai yang memiliki wawasan luas, juga dikenal seorang penyabar dan penyejuk hati.

Berbeda halnya ketika penulis, tidak hanya mendengar melainkan menyaksikan bagaimana seorang Kiai Tidjani menghadapi santri yang memiliki pandangan liberal bahkan kelewat liberal karena pandangan tersebut tak hanya diyakini sendiri melainkan diungkapkan di ruang publik.

Kiai Tidjani meski memiliki kemampuan mengubah pendirian santrinya dengan tangan (kekuasaan) sebagai Pimpinan dan Pengasuh lembaga, yang memungkinkan bisa mengusir santri yang memiliki pemikiran nyelenih tentang tauhid. Namun Kiai Tidjani lebih menempuh jalan dengan memberikan pandangan yang mendamaikan.

Kiai lebih memilih sebagai seorang ayah kepada anak didiknya bukan seorang bos kepada karyawannya yang melakukan kesalahan fatal langsung main pecat.

Kiai Tidjani dengan kesabarannya lebih memilih menyentuh hati santrinya yang sedang hitam pekat, dengan sentuhan cinta.

Kiai Tidjani lebih suka menjawab pemikiran liberal santrinya dengan menyesuaikan kondisi. Jika tetlalu membahayakan akidah biasa menjawab pertanyaan nyeleneh dengan jawaban yang mudah ditangkap publik (santri secara umum) sementara penjelasan lebih mendalam biasa dilakukan dengan memanggil santri bersangkutan ke kediaman dan memberikan pemahaman secara terperinci.

Paling tidak peristiwa menggemparkan ini terjadi ketika penulis masih berstatus santri dan kala itu yang memiliki pemikiran liberal adalah santri yang sudah duduk di marhalah aliyah.

Beberapa santri maupun guru meyakini akibat yang akan diterima oleh santri berpikiran nyeleneh tersebut adalah diusir dari pondok secara tidak terhormat. Namun tebakan kami meleset santri tersebut tetap berada di pondok sampai menyelesaikan studi pesantrennya.

Sejak peristiwa tersebut jika ditanya tentang sosok Kiai Tidjani maka tanpa ragu penulis akan menjawab Kiai Tidjani: Kiai Penyabar yang Menyejukkan hati.

Torjunan, 10 Maret 2020

KH. MOH. TIDJANI DJAUHARI: Kiai Madura Bertaraf Internasional


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Apa yang bisa dikisahkan bila mendengar nama Kiai Tidjani, pertanyaan semacam ini kerap memburu saya waktu berada di waktu senggang atau ketika dalam keadaan jeda menulis.

Saya diam sejenak lalu mengumpulkan segenap ingatan. Saya biarkan angin berdesir dan aksara-aksara berbaris rapi minta segera dituliskan.

Kiai Tidjani, tentu kiai Madura dan tinggal di Madura serta seorang Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien yang wafat tahun 2007.

Kiai Madura alumni Gontor ini memilih mengabdi di tanah kelahirannya. Namun berbicara Al-Amien Prenduan dalam ruang lingkup internasional takkan pernah lepas dari peranan Kiai Tidjani. Al-Amien Prenduan ya Kiai Tidjani dan Kiai Tidjani ya Al-Amien Prenduan.

Menariknya kendati Kiai Tidjani adalah seorang Pimpinan dan Pengasuh sebuah lembaga yang bertempat di Madura, Kiai Tidjani bisa dibilang duta Al-Azhar sebab Kiai Tidjani adalah seketaris robitah.

Di masa Kiai Tidjani, paling tidak tamu-tamu penting tak hanya berasal dari negeri tercinta bernama Indonesia sebab banyak pula yang berasal dari luar negeri.

Al-Amien Prenduan meski berpusat di Madura tepatnya di sebuah kawasan yang berada di bawah naungan Kabupaten Sumenep, soal hubungan internasional bukan hanya kabar burung melainkan sudah mendapat isapan jempol. Kalau saya punya 10 jempol maka 10 jempol saya berikan kepada Al-Amien Prenduan di masa Kiai Tidjani, ini jika kita bicara Al-Amien Prenduan sebuah lembaga di kawasan lintas negara.

Jika ada yang mengaku santri Al-Amien maka yang akan didapat adalah santrinya Kiai Tidjani? Tak ada pilihan selain mengangguk karena memang benar Kiai Tidjani adalah Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien atau juga bisa dikatakan Kiai Tidjani adalah implementasi Al-Amien itu sendiri.

Torjunan, 10 Maret 2020

KH. MOH. TIDJANI DJAUHARI DAN KEJUTAN ISTIMEWA


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Alangkah sangat bertuah santri yang menjadi alumni tahun (2006), santri angkatan tersebut menamakan diri Sunsavista 31.

Adalah suatu di luar dugaan semalam selepas wisuda, tengah malam kami yang menjadi alumni dikumpulkan di dalam masjid dan mendapat kejutan berharga berupa sanad Tafsir Jalalaen. Kiai Tidjani mulang kitab tafsir.

Kami seangkatan bergegas menyiapkan diri menuju masjid, teman yang tidur dibangunkan, teman yang lain yabg kala itu berada di luar pondok ditelphone segera balik ke pondok untuk bersama ikut ngaji kitab tafsir bersama Kiai Tidjani.

Seingat saya selama saya nyantri mungkin angkatan kami yang paling bertuah, yang mendapat hadiah spesial dari Kiai Tidjani.

Kamipun tak pernah menyangka bahwa ngaji kitab tafsir itu adalah peristiwa paling istimewa pada generasi kami karena sebelum dan sesudah generasi kami Kiai Tidjani tak pernah melaksanakan membuka ngaji bareng tafsir jalalaen tengah malam.

Belakangan setelah beliau tiada, kenangan indah itu mulai berkelebat dalam ingatan. Perlahan saya mengerti betapa kehadiran seseorang bisa ditemukan begitu berharga ketika orang tersebut tak lagi di sini.

Perlahan saya mulai mengerti kenapa Kiai Tidjani ingin kami mengaji tafsir jalalaen tengah malam bahwa dalam menjadi tholibul ilmu harus mampu menaklukkan diri sendiri. Menaklukkan rasa malas yang bersemayam di hati, menjinakkan rasa kantuk yang ada serupa kutuk.

Angin berdesir malam semakin larut dan dini hari sudah mengucapkan selamat datang, ngaji tafsirpun berakhir.

Torjunan, 10 Maret 2020

Senin, 09 Maret 2020

ARISTA DEVI: PEREMPUAN KREATIF BERKUNJUNG KE NEGARA-NEGARA SECARA GRATIS LEWAT HOBI

Jangan sia-siakan hobi yang kamu miliki sebab tak menutup kemungkinan hobimu yang akan mengantarmu pada negeri-negeri tak terduga umtuk dikunjungi. Moh. Ghufron Cholid

Arista Devi​​ (Yuli Riswati) merupakan seorang perempuan yang ketiban berkah, mengembara ke negeri-negeri baru dalam peta hidupnya untuk dikunjungi lewat hobi jeprat-jepret yang ditekuni.

Arista Devi, seorang perempuan yang memiliki hobi memotret lalu mengunggah hasil potretannya di media sosial, lewat hobi tersebut Arista bisa tahu bahwa memotret menggunakan handphone dengan kamera profesional sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kekurangan kamera profesional, menurut Arista harus mempertaruhkan salah satu objek dari dua objek yang dibidiknya. Jika yang lebih mengemuka adalah baground belakang maka bisa dipastikan hasil foto modelnya blur dan alias tidak terang pun sebaliknya jika foto modelnya yang tampak memikat maka bagroundnya yang akan blur. Kamera handphone pertaruhannya adalah kecematan tangan, jika bisa menaklukkan sudah bisa dipastikan hasilnya bagus baik yang menjadi model maupun baground belakang model tersebut.

Lewat kebiasaan jeprat-jepret tersebut, Arista seakan ketibanan berkah. Berkah dari istiqamah hobi yang dilakoninya. Berkunjung ke negara-negara dengan gratis. Mengikuti event-event internasional, tidak hanya menjadi penonton melainkan pembicara ataupun pelaku.

Torjunan, 10 Maret 2020

KH. MOH. IDRIS JAUHARI DAN ALAMAT SENYUM MANIS


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Tiap santri tentu punya kenangan istimewa dengan kiainya, kenangan itupun antara satu santri dengan santri lainnya akan berbeda, Kiai Idris dan Alamat Senyum Manis adalah kisah Kiai Idris dan rambut panjang saya.

Rambut panjang adalah kegemaran saya ketika nyantri di Al-Amien, tentu sangat terlihat aneh memiliki rambut panjang di tengah para santri dan para asatidz yang menyukai rambut pendek. Tentu takepas dari gunjingan dan tak lepas dari sorotan yang masuk target untuk diusir dari pondok.

Rambut saya, terbilang rambut yang cepat sekali panjangnya sehingga untuk memotongpun bisa menimbulkan kebosanan di hati. Namun tiap pilihan tentu memiliki resiko yang tak dapat dihindari, inilah yang kerap menjadikan saya target untuk diusir dari pondok baik ketika menjadi santri maupun sudah menjadi ustad.

Biasanya saya diberikan waktu tiga hari untuk memotong rambut jika dalam tiga hari saya tidak memotong rambut maka sanksi yang harus saya terima adalah diusir.

Tiap malam terakhir tenggat saya akan diusir karena rambut panjang, saya didatangi Kiai Idris dalam mimpi. Kiai tidak mengatakan saya mesti mencukur, hanya berucap rambut kamu sudah panjang ya.

Seketika itu juga saya terbangun dan meminta bantuan seorang teman untuk memotong rambut, kadang pula saya memotong rambut saya sendiri dengan tangan sendiri senyampang terlihat pendek. Walhasil saya tak jadi diusir.

Peristiwa semacam ini tidak hanya terjadi sekali bahkan terjadi berkali-kali baik ketika saya menjadi santri, menjadi ustad maupun ketika menjadi alumni. Kalau rambut saya kelewat panjang, biasanya Kiai Idris datang dalam mimpi sekedar menyampaikan rambut saya sudah panjang, yang menjadi isyarat sudah waktunya dipotong sehingga saya kerap mengatakan saya tak mau potong rambut sebab Kiai Idris belum datang dalam mimpi.

Kenangan indah itu membekas sampai sekarang. Paling tidak inilah kenangan yang paling istimewa bagi saya, bila mengisahkan Kiai Idris.

Torjunan, 10 Maret 2020

KH. MOH. IDRIS JAUHARI DAN KHASIAT DAWUH KIAI





Oleh Moh. Ghufron Cholid

Bawalah apa saja yang bisa kamu bawa dari pondok ini, kalau tidak bisa membawa semua cukup bawa satu saja yang menandakan kamu santri Al-Amien. KH. Moh. Idris Jauhari

Berulangkali saya tertegun memikirkan intisari dari dawuh Kiai Idris, beragam ilmu telah saya terima namun dari sekian ilmu rasanya belum ada yang bisa saya bawa, yang dengannya saya bisa berkata santri Al-Amien. Tidak ada yang bisa saya ungkap kecuali, saya pernah belajar menulis puisi di Al-Amien tepatnya di Sanggar Sastra Al-Amien.

Saya dipertemukan dengan guru-guru puisi yang beragam. Tak terjumlah berapa kaskul yang pernah saya tamatkan sebagai tempat menulis puisi. Tak terhitung sudah berapa ribu puisi yang pernah saya tulis mulai nyantri di Al-Amien hingga saat ini.

Yang saya tahu jalan puisi sangat terjal dan penuh liku. Namun yang bisa saya bawa dari Al-Amien hanyalah puisi. Lewat puisi saya bisa berkata, saya santri Al-Amien. Saya menyadari, saya bukan orang yang pandai berpuisi.

"Orang yang berbakat kalah dengan orang yang tekun, orang yang berbakat tanpa belajarpun ia bisa memenangkan perlombaan namun ia cepat hilang dan tidak dikenang berbeda dengan orang tekun. Orang yang tekun mulanya tidak berbakat namun ia tetap istiqamah melakukannya dan orang seperti ini akan awet dan terus dikenang. Namanya terus disebut diberbagai moment!"

Paling tidak nasehat Kiai Idris itu salah satu dari sekian cara yang saya tempuh, istiqamah menulis puisi. Saya termasuk seorang yang memiliki impian yang terbilang sulit untuk diwujudkan, tapi impian itu kerap saya sampaikan di berbagai keadaan. Sayapun siap dengan resikonya, yang takkan mungkin luput dari cibiran dan tak menutup kemungkinan juga ada yang mendoakan.

Keliling dunia dengan puisi adalah impian saya, jikapun saya tidak bisa melaksanakan sepenuhnya paling tidak puisi saya yang keliling dunia.

Di pondok, saya kebagian edisi pertama dalam menulis puisi, ketika Majalah QALAM terbit secara nasional, puisi saya dimuat di majalah tersebut, demikian pula saat Al-Amien Prenduan memiliki web al-amien.ac.id, puisi saya juga terbit yang pertama selepas itu tak pernah dimuat lagi, seberapapun banyak saya mengirim.

Ketika buku puisi bersama berjudul Akar Jejak yang memuat puisi-puisi Penyair Al-Amien dalam 10 tahun terakhir, puisi-puisi saya juga dimuat, itupun lewat seleksi ketat guru puisi saya bernama Ust. Moh. Hamzah Arsa.

Tahun 2009 saya sudah diundang temu penyair lintas negara bertempat di Malaysia, namun saya tidak bisa hadir karena saya masih mengabdi di Al-Amien Prenduan.

Puisi kerap membawa saya bertualang, mengunjungi tempat-tempat tak terduga, kadang saya datang bersamaan dengan puisi, kadang puisi datang lebih dahulu dan kadang pula puisi saya lebih dahulu sampai tanpa kehadiran saya. Begitulah pertemuan saya dengan puisi, begitulah dawuh kiai saya lakoni.

Japan Foundation Jakarta adalah tempat pertama saya baca puisi, tempat yang sangat unik saya rasa karena tempat ini sangat istiqamah menerapkan orsinalitas. Puisi yang dibaca itu ditulis ke secarik kertas lalu dibumbuhi tanda tangan dan diletakkan dalam pigura lalu di pajang di dinding-dinding Japan Foundation Jakarta kala itu

UPSI Perak Malaysia (2012) adalah tempat pertama kali saya baca puisi di negeri jiran. Tahun pertama, saya berjumpa Dato Malim Ghozali Pk.

Tahun 2013 puisi saya ikut dimuat dalam buku puisi yang di dalamnya memuat puisi penyair dari berbagai negara dalam sebuah Kongres Penyair Lintas Negara ke-33 di Ipoh. Tahun yang sama, takdir membawa saya ke Brunei menikmati indah kampoeng air seraya menulis puisi.

Tahun 2014 diundang ke Peru oleh Mavi Marques untuk menghadir Kongres Penyair Sedunia Ke-34 namun saya tidak bisa datang karena terkendala Bahasa Inggris, saya menyesal ketika berada di Al-Amien Prenduan tak mendalami Bahasa Inggris.

Saya pelan-pelan mulai memahami betapa melaksanakan dawuh kiai sangat berbuah manis. Saya menyadari itu semua setelah menjadi alumni. Kini saya dengan puisi telah menjadi teman karib. Lewat puisi, saya bisa kembali ke masa silam dan mengisahkan sosok-sosok istimewa yang pernah mewarnai hidup ini. Lewat puisi pula, saya seolah kembali bersua dengan kiai-kiai yang telah memberikan warna ilmu Ilahi. Hingga kini menulis puisi nama lain dari hidup saya.

Dalam buku-buku puisi saya, Kamar Hati (Shell-Jagat Tempurung, 2012), Menemukan Allah (Pena House, 2016), Surga yang Dilahirkan (FAM Publishing, 2019) dan Bekal Termahal Seorang Istri (FAM Publishing, 2019) juga memuat puisi yang didekasikan untuk kiai sebagai jalan syukur masih diberikan keistiqomahan menulis puisi.

Torjunan, 10 Maret 2020

KH. MUKHTAR DAN TEKNIK TIRAKAT SEORANG KIAI


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Tirakat atau riyadloh sudah biasa dilaksanakan oleh Kiai Mukhtar, dalam bertirakat seseorang akan diuji seberapa khusyuk dan seberapa teguh mampu menaklukkan godaan.
Tirakat yang ditempuh oleh Kiai Mukhtar adalah tirakat yang dilakukan dengan bolak balik dari Junglorong ke Desa Kramat, yang letaknya di sebelah barat daya Junglorong.
Tirakat dilakukan setelah Kiai Mukhtar mulang santri (mengajarkan santri ilmu agama), membimbing santri dalam sholat jamaah.
Kendati tirakat juga merupakan kegemaran Kiai Mukhtar, tidak lantas meninggalkan lembaga yang diasuhnya hanya untuk bertahannus di Bujuk Kramat. Tirakat tidak lantas menjadi alasan untuk menjauh dan menggugurkan tirakat mulang.
Antara tirakat dzikir dan tirakat mulang santri mendapat takaran yang berimbang. Tirakat yang dilakoni di Bujuk Kramat semata Lillahi Ta'ala juga semata menguji seberapa mampu ujian yang datang mengalahkan kelezatan dzikir.
Keistiqamahan berangkat ke Bujuk Kramat dari kediaman lalu pulang ke kediaman untuk beraktivitas bersama santri adalah tirakat yang dipilih oleh Kiai Mukhtar. 
Mengamati cara Kiai Mukhtar bertirakat, seakan ingin menegaskan baik berada di dalam pesantren maupun di luar pesantren, tirakat bisa dilakukan tanpa mengistimewakan yang satu dan menganak tirikan yang lain. Hikmah yang lain, sejatinya tirakat yang lebih berat bukan ketika berada di Bujuk seraya berdzikir, tetapi berada di tengah-tengah santri dan tetap berada dalam istiqamah mulang serta sholat jamaah. 
Kiai Mukhtar seakan ingin menegaskan bahwa intisari tirakat adalah pengabdian, seberapa mampu menaklukkan keinginan-keinginan hati untuk tetap tegak di jalur Ilahi.

Malam yang sunyi bukanlah suatu ancaman yang menebar rasa takut melainkan jalan mendekatkan diri kepada Ilahi. Ujian yang berat bukan yang terlihat mata melainkan yang selalu bergema di kedalaman hati.

Tirakat bukan jalan menggenggam kedigdayaan atau kesaktian melainkan jalan menyalakan nur Ilahi biar tak redup apalagi padam


Torjunan, 10 Maret 2020

Nyai Hj Zahroh dan Bekal Termahal Seorang Istri Kiai



Oleh Moh. Ghufron Cholid
Bulan madu pernikahan kami (saya dan istri) adalah moment terindah yang akan kekal dalam ingatan. Bulan madu yang kami lakukan adalah sowan ke Nyai Zahroh dan waktu saya dan istri berada di kediaman Nyai Zahroh, istri almarhum Kiai Idris.
Pertemuan pertama istri dengan nyai adalah pertemuan berharga, paling tidak dari sudut pandang seorang Nyai Zahroh, saya menemukan sesuatu yang sangat sayang dilewatkan tanpa dituliskan.
“Menjadi istri kiai, harus siap dimadu!” Dawuh Nyai Zahroh kepada istri saya dan secara spontan istri saya menjawab, “siap, Nyai.” Sejenak waktu hening lalu pecah dengan gelak tawa. Nyai Zahro memandang istri saya seraya tersenyum.
“Harus siap dimadu..., Nyai Zahroh menghela nafas kemudian melanjutkan, “Siap dimadu dengan santri-santrinya!” mendengar menuturan Nyai Zahrah, istri saya menunduk. “Kiai Idris hanya menjadikan saya madu dengan santri-santrinya. Kiai lebih banyak berada untuk santri-santrinya daripada dengan saya dan anak-anak!”
“Sudah mengertikan istri kiai harus siap dimadu dengan siapa!” Ucap Nyai Zahroh seakan meminta persetujuan istri. “Iya, Nyai.” Jawab istri saya sambil menunduk.
“Kiai Idris tak pernah menjadikan saya madu dengan perempuan lain, hanya dengan santri-santrinya. Kiai Idris sangat sebentar tidur paling-paling dua jam!” Nyai Zahroh memperkenalkan sosok Kiai Idris kepada istri saya yang alumni Al-Khoziny Buduran.
Ada semacam mutiara-mutiara mulai berjatuhan dari langit-langit mata Nyai Zahroh ketika mengenalkan sosok Kiai Idris, lelaki yang telah menjadi imam dalam hidupnya. Lelaki yang telah berhasil mengisi hatinya dengan cinta.
Paling tidak sowan ke Nyai Zahroh bersama istri di bulan madu, telah menjadi semacam kata pengantar cinta yang asyik. Potret sebuah rumah tangga yang menarik untuk diketahui dan diteladani sebagai bekal membina rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Malam semakin larut dan kami pamitan. Kamipun pulang dengan sebuah pengalaman berharga yakni mengetahui Bekal Termahal Seorang Istri Kiai.

Torjunan, 9 Maret 2020

KH. MAWARDI: KIAI MANDHIH PANGOCAP DERIH JUNGLORONG


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Orang Kanjer adalah orang yang gemar melakukan acara berkeliling seraya membawa pentungan, menabuhnya seraya berucap saor, saor. Saor, saor. Junglorong juga menjadi rute yang harus dikunjungi dan dijadikan media berkreasi untuk membangunkan orang.

Berulangkali orang Kanjer datang sekedar mengucapkan saor, saor dan kedatangannyapun termasuk tidak lazim, terlalu dini hari untuk membangunkan orang guna bersahur. Orang Junglorong merasa resah atas perbuatan orang Kanjer yang sudah dinilai melewati batas kewajaran.

Keresahan demi keresahan yang kemudian menjadi buah bibir sampailah kepada Kiai Mawardi, salah satu Kiai Junglorong, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ittihad Junglorong yang wafat pada tahun 1996.

"Saor. Saor. Jegeh, jegeh seasaorrah!" Kata-kata itu terus menggema disertai bunyi pentungan. Di sini lain, Kiai Mawardi turun dari kediamannya menuju kediaman oreng Kanjer yang sedang melakukan or saor (suatu kegiatan berkeliling seraya mengucapkan sahur, sahur disertai bunyi pentungan dengan maksud membangunkan orang untuk bersahur).

"Ambu, ambu jek terosagin or saor reah, sateyah jem berempah bektonah oreng tedung!" Kiai Mawardi mulai memperingatkan, sementara orang Kanjer tetap pada pendiriannya melanjutkan or saor seraya membunyikan pentungannya.

"Ambu mon tak ambu celakak kakeh kabbi!" Ucap Kiai Mawardi dengan suara yang mulai meninggi. Anehnya orang Kanjer yang tetap pada pendirian hendak berucap saor, saor dan hendak membunyikan pentungan, mereka tiba-tiba tidak bisa bergerak dan tidak bisa bersuara. Semenjak kejadian tersebut, orang Kanjer tak lagi berani mengucap saor, saor seraya membunyikan pentungan di kawasan Junglorong, mereka hanya lewat kemudian melanjutkan acara or saor mereka di tempat lain.

Torjunan, 9 Maret 2020

Minggu, 08 Maret 2020

RA FUAD DAN TEKNIK MENAKLUKKAN KEMUSTAHILAN


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Tak ada yang mustahil di dunia ini jika kita menganggap segala sesuatu mudah karena Allah. Begitupun saat saya bertemu dengan orang nomer satu Bangkalan beberapa tahun silam di Surabaya.

Konon bisa berfoto dengan orang nomer satu Bangkalan sangatlah bertuah. Tak seorangpun bisa melakukannya, terlebih jika orang itu sangat asing tidak dikenal. Konon pula, berbicara dengan ajudan untuk bisa berfoto dengan Ra Fuad adalah kesia-siaan sebab pasti diarahkan untuk berbicara langsung kepada Ra Fuad.

Sebenarnya foto ini hanya untuk menjawab mitos itu. Bahwa seberapan orang nomer satu Bangkalan itu tetaplah seorang kiai. Tetaplah seorang yang juga bisa diajak bicara dan berfoto.

Kami bertemu secara tak sengaja di Surabaya, tepatnya di kantor dinas Wakil Gubernur Jatim yang kala itu dijabat Bapak Saifullah Yusuf.

"Sengkok terro afotoah ben Ra Fuad!" Kata saya kepada sepupu. "Tak kerah bisa, mlarat!" Jawabnya ketus. "Tadek semlarat monggu Allah, manabi Allah kasokan kabbi gempang!"'

Mungkin keinginan saya terbilang sangat mustahil dan sangat tak mungkin bisa diwujudkan. Tetapi saya sudah mengambil keputusan pantang bagi saya mundur. Lagi pula, Ra Fuad dan saya sama-sama manusia, sama-sama lahir kawasan pesantren bedanya Ra Fuad orang nomer satu Bangkalan dan saya hanya seorang yang lahir dari keluarga salaf.

"Tolong kabeleagin ka Ra Fuad kauleh terro afoah abereng!" Kata saya kepada ajudan Kiai Fuad. "Ngabele dhibik beih kauleh tak bengal (berbicara sendiri saja saya tak berani)."

Ketika Ra Fuad berada di depan pintu dan sayapun depan pintu, sayapun berucap, "kauleh terro afotoah sareng ajunan!" "Sengkok ghik sibuk." Kata Ra Fuad singkat.
"Palastareh dimen ponapah seekasibuk ajunan samarenah panikah pas afoto abereng!" Ra Fuad berucap,"Iyeh, marenah!"

Kami pun ber pisah, Ra Fuad kembali beraktivitas dengan Gus Ipul, sayapun sibuk menulis puisi dan beberapa jam kemudian kami berjumpa kembali.

Ra Fuad hendak pulang ke Bangkalan dengan tergesa-gesa dan menyuruh ajudan untuk menyiapkan mobil yang sedari tadi di parkir di tempat parkir.

"Ngereng seafotoah mangken Ra!" Kata saya mengingatkan sementara Ra Fuad, "Ceppet cong seagin mobil sengkok moleah!" Kata Ra Fuad pada ajudannya.

"Ra manabih ajudanah ajunan nyeapin mobil pas paserah semotoah ajunan sareng kauleh!" Kata saya mulai mencari kejelasan.

"Cong kannak dellun, fotoagin sengkok abereng reah!" Kata Ra Fuad memberi perintah kepada ajudannya dan akhirnya kamipun bisa foto bersama.

Kisah ini sengaja ditulis untuk menegaskan bahwa segala yang mustahil bisa mungkin terjadi bila kita memiliki keyakinan kuat mewujudkan. Jika kita memandang semua orang dihadapan Allah adalah sama maka lambat laun semesta membuka jalan termudah dengan Kun Fayakun Allah. 

Sabtu, 07 Maret 2020

NENG HANUN IDRIS: PUTRI BUNGSU YANG MELANJUTKAN TRADISI


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Berbicara Neng Hanun Idris, putri bungsu dari almarhum KH. Moh. Idris Jauhari ada yang menarik dan layak untuk diketahui publik, saya memberikan nama tulisan ini Neng Hanun Idris: Putri Bungsu yang Melanjutkan Tradisi.

Tulisan ini bukan tanpa sebab akibat, sebab dalam tradisi keluarga Kiai Idris memberikan souvenir berupa buku adalah tradisi yang telah menjadi nadi. Ketika Kiai Idris masih hidup, buku yang dijadikan cinderamata pada undangan yang hadir di pernikahan putra-putri Kiai adalah buku yang dikarang dan diterbitkan oleh KH. Moh. Idris Jauhari DAA (Dan Anak-anak), istilah ini tergolong unik karena yang terbiasa kita dengar adalah nama pengarang yang disertai DKK.

Rupanya memberikan cinderamata buku bagi semua undangan yang hadir di pernikahan, setelah KH. Moh. Idris Jauhari dilanjutkan oleh putri bungsunya, Neng Hanun Idris menghadiahi pernikahannya dan lalu memberikannya kepada segenap tamu undangan dengan buku yang ditulisnya sendiri. Buku yang bisa menggetarkan sukma tiap perempuan.

Tampaknya menjadi putri bungsu bagi Neng Hanun Idris tidak lantas bermanja-manja atau memutuskan mata rantai tradisi. Jika buku itu tidak dikarang oleh KH. Moh. Idris DAA maka yang harus tampil adalah Hanun Idris atau Bisyarotul Hanun Idris dengan bukunya 25 Tanda Seru sebagai cinderamata pernikahan. 

Tampaknya buah tak jauh dari pohonnya memang berlaku dan itupun telah berlaku bagi Neng Hanun Idris. Neng Hanun Idris telah berhasil membuktikan diri bahwa tradisi baik yang telah dijalankan orang tuanya, harus tetap berjalan kendati orang yang paling dicintai dan ditakdzimi telah tiada.

Paopale Daya, 8 Maret 2020

KH. FUAD AMIN: BAPAKNYA BAPAK BUPATI


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Apa yang terlintas ketika mendengar nama Kiai Fuad Amin dikumandangkan, atau anda secara visual dan secara verbal hadir dalam suatu acara yang ada Kiai Fuad Amin, yang mengemuka adalah keturunan Syeichona Cholil Bangkalan yang bupati. Mungkin pendapat itu 90 persen akan disepakati oleh orang Bangkalan. Namun tahukah anda jika julukan Bupati Bangkalan saja tidak terlalu keren. Bahkan terkesan biasa, berbeda ketika Kiai Fuad Amin menjadi Bapaknya Bapak Bupati.

Ada yang menarik ketika julukan ini diproklamerkan sendiri oleh Kiai Fuad Amien, di acara resmi bernama haftam atau imtihanan yang berlokasi di Planggeren Blega Bangkalan beberapa tahun silam, sontak saja yang hadir imtihanan terpingkal-pingkal disertai tepukan tangan.

"Mulai sekarang saya sudah berhenti jadi Bapak Bupati jabatan saya yang sekarang adalah Bapaknya Bapak Bupati. Jadi yang mau mengundang saya lebih mudah karena saya sudah tidak jadi bupati!"

Kiai yang pernah jadi nomer orang satu di Bangkalan ini, ternyata seorang Kiai yang juga punya selera humor yang tinggi.

Bertemu Kiai Fuad dalam sebuah acara terlebih di atas panggung maka anda harus siap untuk tertawa. Seberapa besar anda menahan diri untuk tidak tertawa pada akhirnya anda akan tertawa juga.

Paopale Daya, 8 Maret 2020

TENGKET DAN MAGNET RA LILUR


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Berbicara Tengket maka yang akan mengemuka adalah Ra Lilur sebab sejatinya Tengket tanpa magnet Ra Lilur bagai bumbu tanpa garam. Atau laut tanpa gelombang bisa juga diistilahkan angin tanpa desir. Sebab adanya Ra Lilur Tengket dikenal dan masyhur.

Anda akan menemukan sesuatu hal yang spesial tentang Tengket bila anda menanyakannya kepada musyafir, baik yang melakukan tirakat jalan maupun tirakat naik angkutan. Anda akan merasakan suatu hal yang berbeda bila berada di Tengket. Semacam menemukan daya magis. Demikian sebuah tempat dimuliakan oleh Tuhan tersebab adanya kekasih pilihan Tuhan.

Tengket adalah tempat Ra Lilur bertafakur, mendekatkan diri kepada Tuhan yang dalam agama Islam disebut tahannus untuk mendekatkan kepada Allah. Jika Nabi Muhammad bertahannus di Goa Hira, maka Ra Lilur bertahannus di Tengket.

Jika anda membayangkan Tengket adalah tempat megah. Tempat anda memperoleh kemewahan dunia maka anda salah alamat pergi ke Tengket. Namun jika anda ingin menikmati kelezatan bertafakur, anda bisa memilih Tengket untuk menjadikan salah satu destinasi. Mengheningkan diri untuk lebih dekat dengan Ilahi.
Sebuah tempat yang diistiqamahkan, ianya akan menjadi sebuah tempat penuh makna, yang tak menutup kemungkinan dijadikan tempat istiqamah oleh orang lain.

Tengket dengan Ra Lilur sudah seperti badan dan batin, sudah seperti tubuh dan ruh, ianya saling melengkapi. Rasanya sangat mustahil bagi seorang musyafir atau ahli tirakat tidak mendengar Tengket.

Ra Lilur mungkin sudah tiada, namun Tengket tetaplah tempat istimewa yang akan selalu bergema, sebagai tempat Ra Lilur mengolah raga, mengolah jiwa. Tebgket hingga kini menjadi pilihan yang tak luput dari sorotan pejalan, khususnya yang melewati daerah pantura.

Paopale Daya, 7 Maret 2020

Jumat, 06 Maret 2020

KH. MOH. IDRIS JAUHARI DAN KEYAKINAN MISTIS ORANG MADURA TENTANG PERNIKAHAN


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Orang Madura masih meyakini satu hal, kalau ditanya menikah oleh kiai maka yang perlu dipertimbangkan sebab jika salah menjawab akan berakibat fatal. Bisa jadi semacam kutukan yang tak bisa disangkal.

Berbicara soal ditanya menikah oleh kiai, saya pernah mengalami dan yang bertanya adalah Kiai Idris.

Suatu ketika saya pulang ke rumah dan di luar dugaan, saya dicari oleh Kiai Idris. Tak biasanya saya dicari oleh Kiai dengan sangat serius.

Pihak KOHAR yang bertempat di dekat kediaman kiai disuruh kiai untuk mencari nomer handphone saya dan diminta agar saya cepat menghadap kiai. Peristiwa ini terjadi tahun 2011 yang lalu.

Saya bergegas kembali ke pondok dan bergegas menghadap kiai.

Kamu pulang mau nikah ya? Kok tidak ngundang saya!" Sontak saya kaget. Padahal tujuan saya pulang karena saya hendak dijodohkan dengan putri seorang kiai.

Saya masih dibayangi ketakutan, jika salah menjawab pertanyaan kiai bisa-bisa saya kena tola (semacam kutukan tak akan pernah menikah) jika saya bilang sudah menikah, status saya hanya hendak ditungkan. Lama saya terdiam. Kiai tersenyum dan saya semakin menunduk.

"Pulang mau menikah tak bilang-bilang?" mendengar ucapan kiai saya hanya bisa menunduk, karena memang seorang ustad yang mengabdi di Al-Amien cukup menghadap mudir marhalah dan mudir ma'had untuk meminta persetujuan, diperbolehkan atau tidak untuk pulang, surat yang dibuat mestilah berbahasa Arab dan harus meminta tiga persetujuan ustad yang siap menggantikan tugas di kelas, di kamar dan di yayasan.

Lama saya memikirkan jawaban yang tepat, agar saya tak kena tola kiai. "Teman saya yang akan menikah kiai!" Kiai Idrispun tersenyum.

Benar. Tentu sangat benar yang diucapkan di depan kiai itu benar-benar terjadi. Yang menikah di tahun itu adalah teman seangkatan saya dan saya hanya kebagian menjadi penonton.

Sayapun mulai mengerti mengapa orang Madura sangat sensitf bila ditanya kiai soal pernikahan dan sangat matang menjawab pertanyaan kiai soal pernikahan, karena Orang Madura haqqul yakin perkataan atau pertanyaan itu adalah doa, yang jika salah menyikapi akan berakibat buruk bagi masa depan

Paopale Daya, 7 Maret 2020

KH. AHMAD FAUZI TIDJANI: ILMU YANG MENGECUP LANGIT DAN HATI YANG MENGECUP BUMI


Oleh Moh. Ghufron Cholid

 KH. Ahmad Fauzi Tidjani​​ merupakan putra sulung Kiai Tidjani. Generasi keempat yang menjadi Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan.

Kiai yang alumni Al-Amien juga alumni GONTOR, alumni Al-Azhar juga alumni Sudan lebih memilih tinggal di Madura dan mengabdikan diri di Al-Amien. Bagi Kiai Ahmad Al-Amien Prenduan lebih penting dari segala jabatan di luar Al-Amien.

Bagi Kiai Ahmad Fauzi, Al-Amien tidak hanya lembaga yang telah memberikannya ilmu, menjadikannya alumni sehingga bisa melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi. Al-Amien sudah serupa ruh bagi tubuh.

Tinggal di Madura dan berkhidmah di Al-Amien adalah jalan cinta yang menggetarkan sukma. Dalam acara-acara IKBAL yang kerap dihadiri semua keluarga IKBAL selalu ditekankan bukan seberapa mewah hidangan yang disajikan. Tetapi lebih penting dari itu, sebera erat kita menjalin hati.

Kiai sekelas Kiai Ahmad Fauzi yang telah menyelesaikan S3 di luar negeri, duduk bersama alumni tak memandang skala pertemuan yang hadir, bagi saya itu sangat mewah dan sangat jarang terjadi. Baginya ilmu yang tinggi bukan ajang menepuk dada. Bukan ajang menggalang puji, lebih penting dari itu membumikan silaturrahimi.

Yang lebih menarik dari pandangan Kiai Ahmad Fauzi adalah jika kalian menemukan alumni dan tidak mau kumpul, jangan dimarahi datangi dan ajak dia berkumpul. Sentuh hatinya dengan cinta, demikian kiranya pesan yang telah terpatri di hati.

Hidangan seadanya lebih digemari senyampang itu bisa bersama alumni. Menghormati kiai itu hendaklah berdasar kemampuan, demikian kiranya yang hendak disampaikan beliau secara gerakan.


Paopale Daya, 7 Maret 2020

Kamis, 05 Maret 2020

SELEPAS KEMBALI KE PELUK AL-AMIEN PRENDUAN

: KH. Ahmad Fauzi Tidjani

selepas kembali ke peluk al-amien prenduan
kau cahaya yang dirindukan

dari tanah ke tanah
pohon cinta kasih tandai langkah demi langkah

ada mata air hikmah
dari ucapmu, murabby tarbiyah

sinar-sinar dari berbagai daerah
kau rangkum kembali dalam mahabbatullah

dalam nafas pertemuan
kau gemakan pulang dalam pelukan
bersama genggam kemenangan
jayalah al-amien prenduan

Moh. Ghufron Cholid
Junglorong-Blega, 14 Februari 2020
Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan (2015-sekarang), putra sulung Alm. KH. Moh. Tidjani Djauhari.

KH. AHMAD FAUZI TIDJANI DAN IJAZAH SHOLAWAT FATIH



Oleh Moh. Ghufron Cholid

Sholawat Fatih bagi pondok pesantren Al-Amien Prenduan serupa udara bagi berjalannya kehidupan. Ianya kerap dibaca dalam beragam acara juga dimasukkan dalam bacaan doa.

Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan (2015 hingga kini) secara khusus memberikan ijazah Sholawat Fatih kepada IKBAL SAMPANG untuk dibaca sebelas kali tiap selesai shalat dan sanad amalan inipun juga diberikan, diijazahkan oleh KH. Ahmad Fauzi Tidjani diijazahkan oleh KH. Tidjani Djauhari diijazahkan oleh Kiai Djauhari diijazahkan oleh Kiai Chotib diijazahkan oleh Kiai Abdusshomad dan dijazahkan dari guru-guru beliau sampai ke Rasulullah.

Amalan dan ijazah adalah tradisi yang berjalan turun temurun di kalangan pesantren. Mendapatkan sebuah ijazah amalan sama halnya memiliki kunci atas segala gembok. Dengan ijazah maka seorang sudah dipastikan memiliki sanad keilmuan yang jelas yang tentu gurunya sangat jelas pula.

Paling tidak pembacaan sholawat fatih setelah sholat sebanyak sebelas kali sudah memiliki panduan yang jelas. Tata cara mengamalkannya pula juga jelas. Akhir kata selamat mengamalkan semoga bermanfaat.

Junglorong, 6 Maret 2020

MENUJU HAUL MASYAIKH JUNGLORONG

menuju haulmu, masyaikhku
bumi berpayung mendung

sepanjang jalan, pohon-pohon doa tumbuh
bakti-baktimu hidupkan mahabbatullah

sedang di pemakaman
tahlil dan yasin, rimbunkan kesadaran


Moh. Ghufron Cholid
Junglorong, 6 Maret 2020/11 Rajab 1441 H

SEKITAR PEMAKAMAN KIAI MUYAQIN II


Pada nisanmu, aku membaca
Warna hidup dan cinta

Pada nisanmu, aku mengeja
Ketaatan dan setia

Moh. Ghufron Cholid
Junglorong, 11 Rajab 1441 H

SEKITAR PEMAKAMAN KIAI MUYAQIN


Kapasan-Junglorong
Satu nafas kasmaran
Satu tarikan keridhaan

Yang asing jadi sayang
Yang linang jadi riang

Demikian sketsa cinta
Kau beri nama

Demikian penyucian jiwa
Kau beri rupa

Moh. Ghufron Cholid
Junglorong, 11 Rajab 1441 H


KIAI MUYAQIN



Leluhur kalbu
Tertatih aku, menuju

Bila waktu, buka jalan perkenalan
Terungkap segala rahasia

Yang terjauh
Sedekat ruh

Moh. Ghufron Cholid
Junglorong, 6 Maret 2020
-Masyaikh Junglorong yang wafat 1972-


KH. MOH. IDRIS JAUHARI DAN TEKNIK MENJARING MALAIKAT

Oleh Moh. Ghufron Cholid

Tiap santri tentu memiliki kenangan yang mengasyikkan, kenangan yang begitu mendebarkan dengan kiai yang pernah mengasuhnya. Begitupun kenangan saya dengan Kiai Idris, kali ini akan saya kisahkan Kiai Idris dan Teknik Menjaring Malaikat, sepintas judul ini sangat berlebihan dan terkesan mengada-ngada namun memang begitulah adanya.

Hari itu, hari masih dini hari, di masjid Jami' Al-Amien, tepatnya setelah shalat tahajjud. Saya beserta santri yang lain oleh Kiai Idris diajari teknik menjaring malaikat. 

Kami dibimbing untuk duduk melingkar, membentuk semacam halaqah dan syaratnya adalah antara lutut yang satu dengan lutut lainnya harus menyentuh. Lutut kami bersentuhan baik sesama santri maupun dengan wali kelas kami.

"Sentuhkan lutut kalian ketika halaqah sebab itu cara terbaik menjaring malaikat. Malaikat rahmat turun dalam halaqah, yang mana halaqah yang dibentuk tidak ada celah." Kata Kiai Idris seraya tersenyum sambil mempraktekkan, "beginilah cara halaqah yang benar!"

Kami mengangguk dan saling menyentuhkan lutut. Kiai Idris seakan ingin mengokohkan ikatan di antara guru dan murid tak sebatas ikatan secara dhohir melainkan ikatan secara bathin. 

Kiai Idris tak hanya menyuruh melainkan mencontohkan. Tak ada keraguan berada di tengah santri bahkan bersentuhan lutut dengan santri. Kiai Idris adalah perpaduan ucapan dan gerakan yang indah. 

Dalam halaqah, santri dan wali kelas dipertemukan, dieratkan ikatan. Saling mengetahui keadaan, wali kelas menjadi tempat bertanya jika para santri dalam kebingungan. Wali kelas semacam mursyid dalam halaqatul ilmu. 

Membentuk hubungan yang erat antara santri dengan gurunya. Antara anak didiknya dengan pendidiknya dilakukan sejak dini bahkan ketika selesai shalat berjamaah. Bahkan sebelum subuh membangunkan ruh. 

Kiai Idris berkeliling untuk memperbaiki halaqatul ilmu agar semua guru dan muridnya bisa menjaring malaikat secara bersama. Menghilangkan sekat juga menghilangkan gengsi, semua melebuh jadi satu guna meraih ridha Ilahi.

Junglorong, 6 Maret 2020

Rabu, 04 Maret 2020

KH. MUKHTAR AS'AD: KIAI YANG MENYATUKAN DUA KUBU YANG SALING BERSETERU

Oleh Moh. Ghufron Cholid

Kontestasi pemilihan orang satu di Bangkalan, Kiai Mukhtar tak lepas dari sorotan. Kiai Mukhtar sudah punya nama yang bisa diperhitungkan dalam hal dukung mendukung calon. Keberpihakan Kiai Mukhtar dipertimbangkan, padahal Kiai Mukhtar sendiri adalah orang yang bersahaja, lebih banyak bersama rakyat jelata, melayani keperluan mereka dalam hal memberikan solusi atas permasalahan yang dialami tamu-tamunya.

Kebiasaan menuliskan nama orang yang hendak didoakan lalu diletakkan di buku besarnya kerap saya saksikan. Alfatihah mbah As'ad juga kerap terdengar.

Kala itu suasana pemilihan Bupati Bangkalan memanas dan semua calon berebut dukungan. Kala itu juga Kiai Mukhtar memiliki hajat tahunan yakni haftam lembaga yang diasuhnya.

Tak disangka, kedua calon yang berebut menjadi nomer satu di Bangkalan juga hadir dalam haftam tersebut. Sebagai seorang yang punya hajat dan tuan rumah acara, Kiai Mukhtar memperlakukan kedua calon tersebut duduk sama rata, berdiri sama tinggi. Tak ada yang lebih diistimewakan. Tak ada pula yang direndahkan.

Suasana yang memanas tak seharusnya dibuat tambah panas. Ianya harus didinginkan. Kiai Mukhtar bergegas memanggil pemandu acara haftam agar keduanya diberi tempat juga diberi peran.

Bagi Kiai Mukhtar bisa duduk bareng dalam acara akbar tahunan lebih istimewa daripada saling menjatuhkan. Terlebih yang sedang berebut suara menjadi orang Bangkalan, yang hadir ke acara haftam lembaga Kiai Mukhtar sama-sama keturunan Syeichona Kholil.

Acara haftam selesai menyisakan kesan yang baik. Paling tidak selama acara, kedua calon Bupati Bangkalan sama-sama diberi peran. Tak ada yang lebih diunggulkan dan tak ada pula yang disepelekan, semua dianggap sama dan semua diberi penghormatan yang sama.

Junglorong, 5 Maret 2020

KH. BAKRI DAN NINJA YANG MENYAMAR


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Terkenal sebagai tokoh yang tegas dan berani maka harus siap dhohir dan bathin menghadapi kemungkinan. Baik diserang secara nyata maupun diserang lewat angin (sihir).

Musim ninja, Kiai Bakri termasuk target yang akan dibunuh oleh ninja. Tak tanggung-tanggung ancaman dilakukan lewat telephone rumah. Anehnya ninja yang mengancam bisa memiliki nomer telphone rumah Kiai Bakri.

"Hati-hati anda termasuk orang yang masuk catatan untuk dibunuh dalam daftar target pembunuhan kami!" Ucap seseorabg lewat telephone dengan maksud menggertak Kiai Bakri.

"Jangan tanggung-tanggung kalau mau membunuh Bakri, harus siapkan yang banyak sekalian karena Bakri tak kebal rasa takut!"

Kabar Kiai Bakri ingin dibunuh ninja tersebar dan banyak alumni baik alumni pondok Almunawwir maupun alumni Palanggeren berdatangan ke Segit julukan buat Kauman Blega, berebut untuk menjaga keamanan Kiai Bakri.

Ada yang ingin berjaga sepanjang malam agar Kiai Bakri tidur nyenyak. Ada yang begitu lantang mengucapkan kalau cuma ninja akan saya hadapi, nyawa kiai lebih berharga dari nyaea saya. Ada pula yang berucap biarkan saya saja yang jaga dan yang lain boleh tidur nyenyak.

Mendengar semangat yang menggebu-gebu dari para alumni, masyarakat dan simpatisan, Kiai Bakri tersenyum sesekali memandangi wajah-wajah yang ada di depan Kiai Bakri dengan tatapan cinta.

"Sakalangkong atas perhatianna sadejeh, namong Bakri tak usa jegeh. Bakri benni oreng tako'an lebbih begus paleman karomana bengsebeng."

Para masyarakat, alumni dan simpatisan saling pandang, sesekali menunduk lalu bubar jalan, bersiap menjaga Kiai Bakri tanpa sepengetahuan Kiai Bakri.

Angin berdesir sepoi-sepoi. Sunyi. Nyaris tanpa suara. Banyak yang berjaga di sekitar kediaman kiai namun di depan masjid dibiarkan sunyi tanpa seorangpun berjaga.

Mulai terdebgar dua mobil berlalu di depan masjid kemudian menepi di seberang jalan. Lama mobil tersebut menepi dan tanpa bunyi. Mobil dibiarkan senyap. Beberapa waktu kemudian mobil tersebut melaju ke arah utara dan tidak terdengar lagi.

Beberapa bulan kemudian, ada seorang lelaki muda bertubuh atletis datang ke kediaman Kiai Bakri, menyatakan bahwa dirinya adalah seorang yang kena copet dan kehabisan bekal. Lelaki itu meminta izin ke Kiai Bakri untuk tinggal di kediaman Kiai Bakri. Namun Kiai Bakri menyarankan untuk tinggal di pondok putra.

Lelaki itupun betlalu menuju pondok putra, hanya mengenakan baju lengan pendek dan mengenakan celana. Tidak membawa apa-apa selain yang dipakai.

Di waktu yang lain, lelaki itu kembali menghadap Kiai Bakri dengan permintaan yang sama, tinggal di kediaman Kiai Bakri namun sekali lagi Kiai Bakri mempersilahkan tamu misteriusnya berdiam di pondok putra.

Di waktu yang lain, tepatnya saat gerimis turun lelaki itu menghadap Kiai Bakri dan meminta izin agar diperkenankan tinggal di kediaman Kiai Bakri seraya berkata, " Saya ingin tinggal di sini saja sebab saya takut dibunuh orang. Malam ini orangnya akan datang ke sini!" Kata lelaki itu merengek meminta belas kasihan.

Menyaksikan pemandangan yang tak biasa. Melihat keadaan yang begitu mencurigakan, akhirnya masyarakat berinisiatif untuk mengikat dan menghajar orang tersebut.

Anehnya ketika diikat, dihajar dan dipukuli berkali-kali orang tersebut semakin sering tertawa. Tak ada rintihan kesakitan.

"Ayo ngaku sebenarnya siapa kamu dan mau apa ke Blega?" Tanya seseorang dengan maksud mengintimidasi.

"Saya hanya seorang yang kecopetan dalam perjalanan pulang ke Sumenep, saya turun di sini karena di sini ada pesantren dan saya merasa aman berada di pesantren.

Berbagai siksaan diberikan bamun tak sedikitpun lelaki misterius itu merasa kesakitan. Merasa ada yang janggal akhirnya dilucuti juga pakaian dan kaosnya, pukulan tendangan terus diberikan. Keadaan sama tak ada rintihan. Hanya tersenyum dan tersenyum.

Dirasa ada yang janggal, barulah diperiksa sekujur tubuh barangkali terdapat azimat yang membuat tubuh kuat. Akhirnya dari celana dalamnya ditemukan azimat. Setelah azimat itu diambil maka yang semula tersenyum berubah rintihan.

Kiai Bakri mencoba melerai seraya berucap, "ambu, ambu lapamole beih oreng jiah karomanah, jek seksa pole."

Penyiksaan dihentikan. Lelaki misterius diserahkan ke polsek Blega dan meminta polsek tersebut memulangkan lelaki misterius itu ke rumahnya, dengan menitipkan pada sopir bis AKAZ yang menuju ke arah Sumenep. Semenjak peristiwa itu, teror untuk membunuh Kiai Bakri mereda.

Walau Kiai Bakri sudah curiga dari awal bahwa tamu misterius itu adalah ninja yang menyamar, Kiai Bakri tetap mempersilahkan tamunya menginap di kawasan pesantren.

Ketika kecurigaan tersebut diketahui masyarakat maka yang ada adalah cercaan pertanyaan agar mengakui tujuan utama datang ke kediaman Kiai Bakri dan memaksakan kehendak untuk berdiam di rumah Kiai Bakri.

Ketika ketidakjujuran yang diberikan maka usaha keras ditempuh masyarakat dengan maksud membongkar tujuan awal datang ke Blega. Ketika hantaman dan tendangan hanya dianggap semut berlalu maka yang ada rasa penasaran, mencari musabab mengapa masih terlihat tangguh meski disiksa, menemukan kejanggalan ada azimat di celana dalamnya, ketika diambil dan dipukuli merasa kesakitan maka yang terlihat di mata Kiai Bakri adalah rasa kemanusiaan yakni meredakan amarah masyarakat dan menyarankan tamu mesteriusnya di antarkan pulang saja agar tak ada penyiksaan berkelanjutan.

Junglorong, 4 Maret 2020