Kiai As'ad Marzuqi
(Planggeren Blega)
Oleh Moh. Ghufron Cholid
Tahukah anda bahwa di Blega tepatnya di Planggeren ada seorang ulama yang mampu mengenali Nabi Hidir yang sedang menyamar. Penyarannya yang rapi terstruktur dan massif ini rupanya tak semua ulama diberkahi mampu mengenali Nabi Hidir.
Nabi yang satu ini memang kerap hadir dalam penyamaran yang sulit diterka hanya orang khusus yang mampu mengenalinya dan salah satu ulama khusus itu bernama Kiai As'ad. Saudara dari Nyai Shofiyah Marzuqi atau paman dari KH. Bakri Munawwir (ulama yang dijuluki Macan Blega).
Suatu hari, Kiai As'ad didatangi oleh KH. Bakri Munawwir, yang tak lain adalah keponakan dari Kiai As'ad. Pertemuan dua kiai kharismatik yang masih memiliki ikatan darah, dilatarbelakangi oleh kegelisahan KH. Bakri Munawwir yang saat itu menyesal bertengkar dengan tamu misteriusnya yang kerap bertanya seputar akidah dengan pertanyaan yang sangat nyeleneh.
Karakter tatak (tegas) yang dimiliki KH. Bakri Munawwir yang tak kenal kata kompromi dengan segala bentuk kemungkaran dan ketakpatutan seseorang hamba yang kerap mempertahankan Tuhannya kepada ulama dengan pertanyaan nyeleneh membuat KH. Bakri Munawwir naik pitam dan melempar caping tamunya lalu mengusir tamunya dengan penuh kegarangan dengan maksud agar tamu tadi tak sembrono dalam beraqidah.
Begitu kemarahan KH. Bakri Munawwir mereda, segera mengutus para santri melacak keberadaan tamu misterius tersebut. Tak dinyana tamunya raib tanpa jejak padahal para santri kala itu ada yang berada depan masjid dan ada pula yang berada di area pondok yang menjadi tempat berjalannya tamu misterius. Pencarian nihil walhasil KH. Bakri Munawwir tersadar bahwa tamu yang telah diusirnya adalah Nabi Hidir.
Peristiwa yang tak biasa tersebut dikisahkan kepada pamannya dengan satu keinginan agar Allah mempertemukan KH. Bakri Munawwir dengan Nabi Hidir lewat kiai khos yang diyakini KH. Bakri bisa menjadi wasilah tercipta perjumpaan tak terduga dengan Nabi Hidir.
Kiai As'ad orang yang luhur budinya. Luas ilmunya. Tawadlu prilakunya hanya tersenyum menyaksikan keberadaan keponakannya. Sesekali tersenyum. Sesekali menunduk. Sesekali menggelengkan kepala lalu mengelus dada.
Di malam yang gerimis. Di tengah keasyikan mengobrol antara keponakan dengan pamannya. Tanpa diduga muncul tamu yang mengejutkan KH. Bakri dan membuat tersenyum Kiai As'ad. Seorang tamu tak dikenal namun banyak maunya. Seorang tamu yang menggampangkan permintaan kepada ulama yang ditemuinya. Permintaan yang juga tak bisa dibilang sepele yakni minta disiapkan sarung yang bagus untuk dikenakan.
KH. Bakri Munawwir yang menyaksikan pemandangan tak lazim atau bisa dibilang keluar dari garis kepatutan adab seorang tamu kepada ulama langsung naik pitam. Langsung tegak dengan amarah yang tak bisa dijawal sementara Kiai As'ad hanya tersenyum dan tamunyapun meminta dengan sangat segera permintaan tersebut dipenuhi oleh Kiai As'ad.
Kiai As'ad mengarahkan pandangan kepada tamu misteriusnya, sesekali tersenyum lalu mengangguk. Tak ada amarah tumbuh. Tak ada kesal menjalar.
Tamu Kiai As'ad semakin ngotot minta permintaan segera dipenuhi oleh Kiai As'ad sementara KH. Bakri Munawwir terus mengingatkan tamu yang tidak sopan dengan harapan segera bersikap sopan. Nada suara KH. Bakri semakin meninggi sedangkan sang tamu semakin abai dan tak mempedulikan apa yang diucapkan KH. Bakri sementara Kiai As'ad semakin tersenyum dan bergegas menuju kamar untuk mengambil sarung yang sesuai permintaan tamunya.
Seketika langit menjadi hening. Tak ada percakapan yang ada hanyalah saling berbagi pandangan.
Bagi Kiai As'ad merahasiakan identitas tamu lebih dipilih agar tiap tamu tersebut bisa lebih leluasa berkenalan dan mengeluarkan sifat aslinya.
Kendati Kiai Bakri sudah mengutarakan keinginan untuk bisa bertemu Nabi Hidir secara langsung dan menyampaikan permintaan maaf, Kiai As'ad lebih memilih membiarkan keponakannya bertemu Nabi Hidir dengan sangat natural. Tidak mengumbar identitas adalah pilihan yang ditempuh karena Kiai As'ad sudah tahu bahwa karakter KH. Bakri Munawwir dan Nabi Hidir bagai air dan api yang takkan pernah akur. Selama identitas orang yang ditemui KH. Bakri belum terungkap. Demikian Nabi Hidir yang memang suka menguji kesabaran KH. Bakri seperti halnya menguji kesabaran Nabi Musa saat berjumpa dan berguru kepada Nabi Hidir.
Kiai As'ad bergegas menyodorkan sebuah sarung bermerk kelas atas yang masih lengkap dengan cap maupun plastiknya dan tanpa ragu memberikan kepada tamunya untuk dibawa pulang. Setelah menerima sarung dari Kiai As'ad Nabi Hidir bergegas pamit sementara KH. Bakri masih merasa heran dengan pemandangan yang baru saja dilihatnya.
Ada semacam perasaan tak percaya bahwa yang dilihatnya adalah kenyataan. Ada perasaan geram karena menurut Kiai As'ad terlalu memanjakan tamu walaupun tamu tersebut tak diketahui identitasnya dan bertindak tidak sopan. Ada perasaan eman karena sarung yang diberikan Kiai As'ad kepada tamunya terbilang bagus dan mahal.
Belum juga KH. Bakri tersadar dari perasaannya yang bercampur baur. Antara heran, geram dan eman. Suara yang sangat dikenal KH. Bakri membangunkan dari lamunan.
"Kri, kocakna hedeh terro katemonah Nabi Hidir, terro asaporaah, hedeh lamareh katemon ghikburu maktak asaporah balik hedeh anasehatin tang tamoy!"
Mendengar penuturan Kiai As'ad sejenak KH. Bakri tertegun. Larut dalam tanda tanya seolah ingin memastikan bahwa yang dikatakan Nabi Hidir bukanlah seseorang yang telah dinasehatinya untuk sopan kepada Kiai.
"Kri, ghik buruh sesetemonen hedeh, sesempat mapeggel hedeh ajuah saleranah Nabi Hidir!"
Seketika KH. Bakri Munawwir tersentak. Mencoba memastikan bahwa yang disampaikan Kiai As'ad hanyalah gurau belaka sebab penuturan Kiai As'ad disertai senyuman. Namun setelah berulang kali Kiai As'ad mengungkap jati diri tamu misterius yang ditemuinya adalah Nabi Hidir, kembali KH. Bakri menyesal sekaligus bersedih karena merasa belum sempat memuliakan Nabi Hidir dengan sebaik-baik penghormatan.
Junglorong, 28 Februari 2020
(Planggeren Blega)
Oleh Moh. Ghufron Cholid
Tahukah anda bahwa di Blega tepatnya di Planggeren ada seorang ulama yang mampu mengenali Nabi Hidir yang sedang menyamar. Penyarannya yang rapi terstruktur dan massif ini rupanya tak semua ulama diberkahi mampu mengenali Nabi Hidir.
Nabi yang satu ini memang kerap hadir dalam penyamaran yang sulit diterka hanya orang khusus yang mampu mengenalinya dan salah satu ulama khusus itu bernama Kiai As'ad. Saudara dari Nyai Shofiyah Marzuqi atau paman dari KH. Bakri Munawwir (ulama yang dijuluki Macan Blega).
Suatu hari, Kiai As'ad didatangi oleh KH. Bakri Munawwir, yang tak lain adalah keponakan dari Kiai As'ad. Pertemuan dua kiai kharismatik yang masih memiliki ikatan darah, dilatarbelakangi oleh kegelisahan KH. Bakri Munawwir yang saat itu menyesal bertengkar dengan tamu misteriusnya yang kerap bertanya seputar akidah dengan pertanyaan yang sangat nyeleneh.
Karakter tatak (tegas) yang dimiliki KH. Bakri Munawwir yang tak kenal kata kompromi dengan segala bentuk kemungkaran dan ketakpatutan seseorang hamba yang kerap mempertahankan Tuhannya kepada ulama dengan pertanyaan nyeleneh membuat KH. Bakri Munawwir naik pitam dan melempar caping tamunya lalu mengusir tamunya dengan penuh kegarangan dengan maksud agar tamu tadi tak sembrono dalam beraqidah.
Begitu kemarahan KH. Bakri Munawwir mereda, segera mengutus para santri melacak keberadaan tamu misterius tersebut. Tak dinyana tamunya raib tanpa jejak padahal para santri kala itu ada yang berada depan masjid dan ada pula yang berada di area pondok yang menjadi tempat berjalannya tamu misterius. Pencarian nihil walhasil KH. Bakri Munawwir tersadar bahwa tamu yang telah diusirnya adalah Nabi Hidir.
Peristiwa yang tak biasa tersebut dikisahkan kepada pamannya dengan satu keinginan agar Allah mempertemukan KH. Bakri Munawwir dengan Nabi Hidir lewat kiai khos yang diyakini KH. Bakri bisa menjadi wasilah tercipta perjumpaan tak terduga dengan Nabi Hidir.
Kiai As'ad orang yang luhur budinya. Luas ilmunya. Tawadlu prilakunya hanya tersenyum menyaksikan keberadaan keponakannya. Sesekali tersenyum. Sesekali menunduk. Sesekali menggelengkan kepala lalu mengelus dada.
Di malam yang gerimis. Di tengah keasyikan mengobrol antara keponakan dengan pamannya. Tanpa diduga muncul tamu yang mengejutkan KH. Bakri dan membuat tersenyum Kiai As'ad. Seorang tamu tak dikenal namun banyak maunya. Seorang tamu yang menggampangkan permintaan kepada ulama yang ditemuinya. Permintaan yang juga tak bisa dibilang sepele yakni minta disiapkan sarung yang bagus untuk dikenakan.
KH. Bakri Munawwir yang menyaksikan pemandangan tak lazim atau bisa dibilang keluar dari garis kepatutan adab seorang tamu kepada ulama langsung naik pitam. Langsung tegak dengan amarah yang tak bisa dijawal sementara Kiai As'ad hanya tersenyum dan tamunyapun meminta dengan sangat segera permintaan tersebut dipenuhi oleh Kiai As'ad.
Kiai As'ad mengarahkan pandangan kepada tamu misteriusnya, sesekali tersenyum lalu mengangguk. Tak ada amarah tumbuh. Tak ada kesal menjalar.
Tamu Kiai As'ad semakin ngotot minta permintaan segera dipenuhi oleh Kiai As'ad sementara KH. Bakri Munawwir terus mengingatkan tamu yang tidak sopan dengan harapan segera bersikap sopan. Nada suara KH. Bakri semakin meninggi sedangkan sang tamu semakin abai dan tak mempedulikan apa yang diucapkan KH. Bakri sementara Kiai As'ad semakin tersenyum dan bergegas menuju kamar untuk mengambil sarung yang sesuai permintaan tamunya.
Seketika langit menjadi hening. Tak ada percakapan yang ada hanyalah saling berbagi pandangan.
Bagi Kiai As'ad merahasiakan identitas tamu lebih dipilih agar tiap tamu tersebut bisa lebih leluasa berkenalan dan mengeluarkan sifat aslinya.
Kendati Kiai Bakri sudah mengutarakan keinginan untuk bisa bertemu Nabi Hidir secara langsung dan menyampaikan permintaan maaf, Kiai As'ad lebih memilih membiarkan keponakannya bertemu Nabi Hidir dengan sangat natural. Tidak mengumbar identitas adalah pilihan yang ditempuh karena Kiai As'ad sudah tahu bahwa karakter KH. Bakri Munawwir dan Nabi Hidir bagai air dan api yang takkan pernah akur. Selama identitas orang yang ditemui KH. Bakri belum terungkap. Demikian Nabi Hidir yang memang suka menguji kesabaran KH. Bakri seperti halnya menguji kesabaran Nabi Musa saat berjumpa dan berguru kepada Nabi Hidir.
Kiai As'ad bergegas menyodorkan sebuah sarung bermerk kelas atas yang masih lengkap dengan cap maupun plastiknya dan tanpa ragu memberikan kepada tamunya untuk dibawa pulang. Setelah menerima sarung dari Kiai As'ad Nabi Hidir bergegas pamit sementara KH. Bakri masih merasa heran dengan pemandangan yang baru saja dilihatnya.
Ada semacam perasaan tak percaya bahwa yang dilihatnya adalah kenyataan. Ada perasaan geram karena menurut Kiai As'ad terlalu memanjakan tamu walaupun tamu tersebut tak diketahui identitasnya dan bertindak tidak sopan. Ada perasaan eman karena sarung yang diberikan Kiai As'ad kepada tamunya terbilang bagus dan mahal.
Belum juga KH. Bakri tersadar dari perasaannya yang bercampur baur. Antara heran, geram dan eman. Suara yang sangat dikenal KH. Bakri membangunkan dari lamunan.
"Kri, kocakna hedeh terro katemonah Nabi Hidir, terro asaporaah, hedeh lamareh katemon ghikburu maktak asaporah balik hedeh anasehatin tang tamoy!"
Mendengar penuturan Kiai As'ad sejenak KH. Bakri tertegun. Larut dalam tanda tanya seolah ingin memastikan bahwa yang dikatakan Nabi Hidir bukanlah seseorang yang telah dinasehatinya untuk sopan kepada Kiai.
"Kri, ghik buruh sesetemonen hedeh, sesempat mapeggel hedeh ajuah saleranah Nabi Hidir!"
Seketika KH. Bakri Munawwir tersentak. Mencoba memastikan bahwa yang disampaikan Kiai As'ad hanyalah gurau belaka sebab penuturan Kiai As'ad disertai senyuman. Namun setelah berulang kali Kiai As'ad mengungkap jati diri tamu misterius yang ditemuinya adalah Nabi Hidir, kembali KH. Bakri menyesal sekaligus bersedih karena merasa belum sempat memuliakan Nabi Hidir dengan sebaik-baik penghormatan.
Junglorong, 28 Februari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar