Jejak Langkah

Sabtu, 29 Februari 2020

REMBULAN DI KURSI RODA

          KH. Moh. Idris Jauhari bersama KH. Ghozi Mubarok, Putra Sulung Kiai Idris

(Sebuah Kisah Tentang KH. Moh. Idris Jauhari)
Oleh Moh. Ghufron Cholid*

Sungguh beruntung orang yang berkesempatan nyantri di sebuah pondok pesantren, apapun jenis pesantrennya sebab ianya tidak akan lepas dari figur seorang kiai. Keberuntungan tersebut saya pernah mendapatkan. Keberuntungan tersebut saya kisahkan dalam tulisan ini.

KH. Moh. Idris Jauhari adalah seorang ulama yang menjabat Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan (2007-2012), seorang konseptor ulung dalam dunia pendidikan. Usia 18 tahun sudah merintis pesantren. Namun yang menjadi titik fokus tulisan ini adalah keistiqamahannya dalam beribadah sehingga saya menamai tulisan ini sebagai Rembulan di Kursi Roda.

Bagi Kiai Idris, penyakit yang dideritanya bukan alasan mengasingkan diri dari keistiqomahan dalam beribadah. Bahkan di atas kursi roda, keistiqomahan sholat berjamaah dan berada dekat dengan para santri tetap dilakoni.

Baginya adalah waktu emas menjalani ibadah dalam segala hal, termasuk ketika sakit. Tentu tidaklah berlebihan jika saya sebagai seorang santri mengabadikan moment berharga, bukan semata ingin menunjukkan bahwa kiai saya adalah kiai yang terbaik, melainkan tahaddus bin ni'mat bahwa pesantren adalah tempat pendidikan karakter yang sebenarnya, sebelum digembar-gemborkan khalayak dunia pendidikan.

Bagi Kiai Idris kata telah menjadi gerak. Ada dawuh yang menggetarkan hati yang disampaikan beliau seputar doa, yakni fron hakikat doa ia mesti diamalkan agar tampak begitu hidup, demikian intisari yang saya pahami dengan bahasa yang lebih mudah dicerna.

Adakalanya seseorang akan bertemu waktu, di sisi lain hanya bertemu kesempatan dan adakalanya juga waktu dan kesempatan datang bersamaan makan selagi ada kesempatan pergunakan dengan baik, dawuh Kiai Idris di waktu yang lain.

Mengamati Kiai Idris di kursi roda lengkap dengan segala keistiqomahan yang dilakukan sesekali saya menggelengkan kepala namun tidak jarang saya mengangguk. Tidak jarang pula saya mempertanyakan diri saya sendiri mampukah saya meniru. Ketika seperti itu, saya kerap didera rasa cemburu.

Kehilangan seorang guru bisa dibilang ter serabutnya ilmu dan barokah di alam semesta, hal ini saya rasakan. Betapa sukarnya yang teramat dalam saya rasakan ketika Kiai Idris wafat. Semacam kebahagiaan saya telah retak dan saya tak mampu melangkah.

Jiwa-jiwa bercahaya berkerumun mengangkut keranda Kiai Idris, saya tidak memperoleh kesempatan berharga membawa keranda walau sedetik. Tangan saya terpental jauh dari kerumunan.

Sebagai santri, tentu hati saya remuk. Namun berada dalam keterpurukan dan berlama-lama di dalamnya bukan hal yang paling disukai Kiai Idris,  di hari wafatnya, di hari Kiai hendak di antar ke pemakaman, sebelum sholat jenazah berlangsung sayapun bernazar, tak berkesempatan membawa keranda Kiai bukan alasan terpuruk, saya mesti bangkit dan mencium keranda Kiai sebagai bentuk cinta dan pelepasan terakhir, rupanya takdir semesta yang dianugerahkanNya berjalan sesuai keinginan, sayapun segera mencium keranda kiai dan bertawakal mengirim fatihah.

Kiai Idris memang telah wafat tahun 2012 yang lalu, namun laqab Rembulan di Kursi Roda tetap melekat pada dirinya, melekat dalam ingatan saya dan semoga surga kado yang nyata bagi Kiai Idris, Amien.

Junglorong, 16 Desember 2019
Alumni TMI Al-Amien Prenduan (2006), angkatan 31 Sunsavista (Anak-anak Matahari), Majlis Keluarga Pondok Pesantren Al-Ittihad Junglorong Komis Kedungdung Sampang Madura. HP 087850742323

Tidak ada komentar:

Posting Komentar