Oleh Moh. Ghufron Cholid
Berbicara Neng Hanun Idris, putri bungsu dari almarhum KH. Moh. Idris Jauhari ada yang menarik dan layak untuk diketahui publik, saya memberikan nama tulisan ini Neng Hanun Idris: Putri Bungsu yang Melanjutkan Tradisi.
Tulisan ini bukan tanpa sebab akibat, sebab dalam tradisi keluarga Kiai Idris memberikan souvenir berupa buku adalah tradisi yang telah menjadi nadi. Ketika Kiai Idris masih hidup, buku yang dijadikan cinderamata pada undangan yang hadir di pernikahan putra-putri Kiai adalah buku yang dikarang dan diterbitkan oleh KH. Moh. Idris Jauhari DAA (Dan Anak-anak), istilah ini tergolong unik karena yang terbiasa kita dengar adalah nama pengarang yang disertai DKK.
Rupanya memberikan cinderamata buku bagi semua undangan yang hadir di pernikahan, setelah KH. Moh. Idris Jauhari dilanjutkan oleh putri bungsunya, Neng Hanun Idris menghadiahi pernikahannya dan lalu memberikannya kepada segenap tamu undangan dengan buku yang ditulisnya sendiri. Buku yang bisa menggetarkan sukma tiap perempuan.
Tampaknya menjadi putri bungsu bagi Neng Hanun Idris tidak lantas bermanja-manja atau memutuskan mata rantai tradisi. Jika buku itu tidak dikarang oleh KH. Moh. Idris DAA maka yang harus tampil adalah Hanun Idris atau Bisyarotul Hanun Idris dengan bukunya 25 Tanda Seru sebagai cinderamata pernikahan.
Tampaknya buah tak jauh dari pohonnya memang berlaku dan itupun telah berlaku bagi Neng Hanun Idris. Neng Hanun Idris telah berhasil membuktikan diri bahwa tradisi baik yang telah dijalankan orang tuanya, harus tetap berjalan kendati orang yang paling dicintai dan ditakdzimi telah tiada.
Paopale Daya, 8 Maret 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar