Jejak Langkah

Kamis, 12 Maret 2020

Ketabahan Seorang Kiai Maktum


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Dan benar-benar kami ujia kalian dengan sesuatu dari ketakukan, kelaparan dan kekurangan harta juga jiwa serta buah-buahan dan jadilah kalian orang-orang yang sabar. Yaitu, apabila mendapat musibah berucap semua dari Allah dan kepada Allah segala kembali."

Menjadi santri dan dipertemukan dengan seorang kiai, adalah berkah yang tidak bisa saya ingkari, dari sosok kiai segala pelajaran berarti bisa dipelajari. Sekali kiai tetap jadi kiai sebab tak ada mantan kiai sekalipun sudah boyong dari pesantren bergelar alumni.

Sakit bisa dialami siapa saja, baik orang biasa kiai ataupun sebangsa nabi. Sakit adalah tanda bahwa seseorang adalah hamba, yang serba berada dalam keterbatasan. Sakit nama lain dari batas sehat. Nama lain kebebasan manusia dalam mendapatkan sehat terikat ruang dan waktu.

Rasa sakit yang dialami manusia merupakan bukti adanya kekuatan maha dahsyat yang sangat tinggi, yang tidak bisa disaingi ciptaan. Sesuatu tersebut kita sebut Tuhan.

Mengenal Kiai Maktum di kala sehat dan sakit, tidak ada perbedaan yang mencolok.

Pimpinan dan Pengasuh Al-Amien Prenduan yang juga alumni Gontor masih mampu menyembunyikan rasa sakitnya di balik senyum, yang kerap diberikan kepada tiap orang yang ditemui. Kening Kiai Maktum masih tetap berbinar. Memancar cahaya, ada kesabaran yang begitu tampak mengakar.

Ketika Kiai Maktum sakit di rawat rumah sakit dekat bandara, saya datang sowan untuk menjenguk sekaligus mengabdi barang sehari. Saya ingin lebih dekat mengenal sosoknya dari jarak terdekat, dari jarak yang bisa disaksikan bukan dari jarak yang mendengar cerita-cerita orang seputar Kiai Maktum.

Paking tidak berada di rumah sakit, berada di dekat Kiai saya menemukan pelajaran berharga bahwa ketika sakit Kiai Maktum, tidak ingin menebar cemas di hati orang-orang dicintainya. Kiai Maktum masih tetap dengan senyum khasnya. Lewat senyumnya, Kiai Maktum seakan ingin berucap sejatinya dalam keadaan baik-baik saja.

Kiai Maktum seakan lebih memantapkan hati bahwa sakit yang dialami beliau adalah jalan cinta yang mesti ditempuh dengan ketabahan. Ketabahan yang ditampilkan tidak dalam bentuk yang penuh cekam, melainkan diperkenalkan secara natural lewat senyum yang diberikan.

Kiai Maktum seakan ingin berpesan bahwa rasa sakit bukan alasan merintih dan menebar rasa cemas. Sakit oleh Kiai Maktum dimaknai jalan ibadah mendekatkan diri kepada Allah lewat jalan sabar dan jalan menyedekahkan senyuman.

Kiai Maktum seakan ingin memberi tahu bahwa tersenyum di waktu sakit adalah cara mengobati penyakit.

Berada di rumah sakit, mengamati dari jarak dekat ketika Kiai Maktum sakit, ada pelajaran berharga bahwa beribadah kepada Allah memiliki ragam jalan dan ketika berada dalam masa sakit, jalan ibadahnya berupa bersabar. Tabah seraya menebar senyum yang rekah.

Paopale Daya, 12 Maret 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar