Jejak Langkah

Sabtu, 29 Februari 2020

KIAI JENNAM (BLUTOH): KIAI MUKASYAFAH DAN AHLI MAKAN MAKANAN MUTIH


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Perjumpaan tak sengaja dengan Kiai Jennam kisaran 10 tahun lalu, usianya kala itu 111 tahun. Usia yang saya pikir sangat fantastis lebih fantastis lagi ketika menyaksikan kulitnya nyaris tanpa keriput baik di tangan maupun wajah.
Pertemuan ini terjadi mana kala kami usai sholat ashar, tepatnya setelah saya ikut lomba cipta puisi spontan dan berada di waktu senggang. Saya yang hanya memakai kaos dan celana panjang dan tak memakai kopiah.
Seorang berpeci hitam dengan tanpa kerutan di wajah dan tangan menyapa saya dan mengajak saya bermain ke kediamannya. Saya hanya mengangguk lalu mulai mengikuti dari belakang. Sesampainya di sebuah rumah saya dipersilahkan duduk di kursi.
Berpenampilan ala kadarnya adalah yang saya pilih karena memang niat utama hanya ikut lomba cipta puisi bukan berjumpa kiai atau tokoh masyarakat. Berada di dekat seorang lelaki tua yang tampak kharismatik yang tak menampakkan hati diri sebagai kiai, hati saya bergetar tak karuan.
Seorang tipikal kiai yang sangat low profil dan punya selera humor cukup tinggi membuat rasa gugup saya perlahan sirna. Lalu lalang keluarga beliau diperkenalkan kepada saya, seraya memberikan informasi penting perihal orang-orang yang dikenalkan pada saya tentunya diselengi candaan.
Anak saya itu kalau tidak kuliah S2 maka ucapannya akan banyak diabaikan orang. Dia harus kuliah. Saya hanya mengangguk, sesekali menunduk. Saya mulai bergumam apakah Kiai sedang menyindir saya secara tidak langsung agar saya melanjutkan kuliah ke S2 setelah menyelesaikan S1 atau memang berbicara yang sebenarnya.
Kalau sampean itu cepat dapat rejeki cepat pula habisnya. Kelak akan menikah empat kali, ucapnya. Saya menimpali cukup sekali saja kiai dan doakan dapat yang mantap sekiranya tak pernah berjumpa, tak pernah dipegang kecuali setelah ijab-qabul. Kiai memandang ke arah saya sambil tersenyum.
Ini istri saya yang nomer dua, ucap Kiai Jannam setelah seorang perempuan berpakaian muslimah menyodorkan kopi pada kami. Memangnya usia kiai berapa kok tampak awet muda? Usia saya seratus lebih. Bagi donk resepnya? Biasa makan makanan mutih. Kata Kiai Jennam sambil tersenyum tipis-tipis.
Uang sampean cepat habis dengan orang terdekat. Kata Kiai Jennam memulai pembicaraan setelah menyeruput kopi. Aduh kok mudah ditebak diriku, gumam saya setelah mendengar ucapan Kiai Jennam, akhirnya keusilan sayapun muncul. Kok seyakin itu kiai menebak saya? Ada kitabnya, kemudian Kiai Jennam meninggalkan saya lalu masuk dalam rumah kemudian membawa beberapa kitab.
Tiap perempuan memiliki kelemahan yang berbeda tiap tanggalnya. Agar kamu tidak kalah setelah menikah ini ada rahasianya. Saya mulai kebingungan dengan ucapan Kiai Jennam, apakah beliau memang memiliki mukasyafah sebab semua ucapannya benar adanya. Semacam ingin menyindir saya untuk cepat menikah. Semacam tahu masalah hidul saya, tiap pulang dari pondok setelah ditanya orang tua kapan mau nikah.
Kiai Jennam seakan ingin menegaskan bahwa cepat menikah mematuhi perintah orang tua adalah baik dan bahkan sangat baik. Bahwa keperkasaan seorang pria bukanlah momok yang menakutkan, semua permasalahan ada solusinya.
Belakangan setelah saya menikah, saya ingat-ingat kembali bahwa perempuan yang menjadi istri saya adalah perempuan yang tidak pernah saya lihat dan belum pernah saya pegang tangannya kecuali setelah ijab-qabul, semacam punya keterkaitan peristiwa seperti yang pernah saya utarakan pada Kiai Jennam. Wallahua’lam bisshowab

Probolinggo, 29 Februari 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar