Jejak Langkah

Sabtu, 29 Februari 2020

KIAI BAGUS AMIRULLAH DAN SEBUAH PERNIKAHAN


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Kiai yang satu ini termasuk menantu dari KH. Moh. Idris Jauhari atau suami dari Neng Nazlah Hidayati. Ada cerita yang menarik bila membahas kiai Amir dikaitkan dengan pernikahan. Seorang yang juga kerap ditanyakan kapan menikah, orang mana dan hari apa.
Kiai Bagus kala itu ditanya oleh teman-temannya, Cak kapan mau menikah? Tahun ini. Orang mana? Orang Sumenep. Hari apa? Hari Senin. Semacam penasaran dengan yang diucapkan Kiai Amirul teman lainnya menimpali, memangnya Cak pernah ke Sumenep? Belum pernah. Teman yang lainpun menimpali, kalau belum pernah kenapa bisa sekayakin itu? Kiai hanya tersenyum sementara teman lain lebih memilih diam serta mulai merancang kejutan.

Keusilan teman kiaipun mulai digalakkan. Hitungan demi hitungan mulai dilakukan. Kiai bagus sesekali memandangi teman-temannya, sesekali memandang mereka penuh senyuman. Waktupun berlalu hingga debaran semakin tak bisa dikawal.

Perjodohan terjadi antara Neng Nazlah Hidayati dengan Kiai Amir. Singkat cerita sampailah kepada hari pernikahan. Hari yang begitu dinantikan oleh teman-teman Kiai Amir apakah yang pernah diucapkan sesuai dengan kenyataan. Menikah di tahun yang sudah disebutkan adalah suatu kebenaran. Mendapatkan jodoh seorang perempuan sholehah berasal dari Sumenep juga adalah kenyataan.

Ada kejadian yang belum diyakini oleh teman-teman Kiai Amir yakni perihal pernikahan Kiai Amir karena nyatanya pernikahan dilakukan di hari Minggu maka sudah pasti apa yang pernah disampaikan Kiai Amir meleset dari perkiraan. Teman yang usilpun mulai mempertanyakan kok meleset Cak? Kiai Amir hanya tersenyum.
Nyatanya pernikahan Kiai Amir dan Neng Nazlah Hidayati tembus sampai hari Senin. Suatu keajaiban bukan. Keajaiban yang memang sengaja dipersiapkan Tuhan buat hamba pilihan. Mata usil dan ucapan usilpun perlahan sirna.

Cak rupanya yang diucapkan Cak bukan pepesan kosong semuanya adalah kebenaran. Mendengar penuturan tersenyum Kiai Amir tak lantas menepuk dada. Kiai hanya menundukkan kepala seraya bersyukur. Mengembalikan sepenuhnya kepada Allah begitupun pujian yang diberikan teman-teman Kiai Amir kepada Kiai Amir dengan berucap hadza min fadli rabby.

Junglorong, 1 Maret 2020

REMBULAN DI KURSI RODA

          KH. Moh. Idris Jauhari bersama KH. Ghozi Mubarok, Putra Sulung Kiai Idris

(Sebuah Kisah Tentang KH. Moh. Idris Jauhari)
Oleh Moh. Ghufron Cholid*

Sungguh beruntung orang yang berkesempatan nyantri di sebuah pondok pesantren, apapun jenis pesantrennya sebab ianya tidak akan lepas dari figur seorang kiai. Keberuntungan tersebut saya pernah mendapatkan. Keberuntungan tersebut saya kisahkan dalam tulisan ini.

KH. Moh. Idris Jauhari adalah seorang ulama yang menjabat Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan (2007-2012), seorang konseptor ulung dalam dunia pendidikan. Usia 18 tahun sudah merintis pesantren. Namun yang menjadi titik fokus tulisan ini adalah keistiqamahannya dalam beribadah sehingga saya menamai tulisan ini sebagai Rembulan di Kursi Roda.

Bagi Kiai Idris, penyakit yang dideritanya bukan alasan mengasingkan diri dari keistiqomahan dalam beribadah. Bahkan di atas kursi roda, keistiqomahan sholat berjamaah dan berada dekat dengan para santri tetap dilakoni.

Baginya adalah waktu emas menjalani ibadah dalam segala hal, termasuk ketika sakit. Tentu tidaklah berlebihan jika saya sebagai seorang santri mengabadikan moment berharga, bukan semata ingin menunjukkan bahwa kiai saya adalah kiai yang terbaik, melainkan tahaddus bin ni'mat bahwa pesantren adalah tempat pendidikan karakter yang sebenarnya, sebelum digembar-gemborkan khalayak dunia pendidikan.

Bagi Kiai Idris kata telah menjadi gerak. Ada dawuh yang menggetarkan hati yang disampaikan beliau seputar doa, yakni fron hakikat doa ia mesti diamalkan agar tampak begitu hidup, demikian intisari yang saya pahami dengan bahasa yang lebih mudah dicerna.

Adakalanya seseorang akan bertemu waktu, di sisi lain hanya bertemu kesempatan dan adakalanya juga waktu dan kesempatan datang bersamaan makan selagi ada kesempatan pergunakan dengan baik, dawuh Kiai Idris di waktu yang lain.

Mengamati Kiai Idris di kursi roda lengkap dengan segala keistiqomahan yang dilakukan sesekali saya menggelengkan kepala namun tidak jarang saya mengangguk. Tidak jarang pula saya mempertanyakan diri saya sendiri mampukah saya meniru. Ketika seperti itu, saya kerap didera rasa cemburu.

Kehilangan seorang guru bisa dibilang ter serabutnya ilmu dan barokah di alam semesta, hal ini saya rasakan. Betapa sukarnya yang teramat dalam saya rasakan ketika Kiai Idris wafat. Semacam kebahagiaan saya telah retak dan saya tak mampu melangkah.

Jiwa-jiwa bercahaya berkerumun mengangkut keranda Kiai Idris, saya tidak memperoleh kesempatan berharga membawa keranda walau sedetik. Tangan saya terpental jauh dari kerumunan.

Sebagai santri, tentu hati saya remuk. Namun berada dalam keterpurukan dan berlama-lama di dalamnya bukan hal yang paling disukai Kiai Idris,  di hari wafatnya, di hari Kiai hendak di antar ke pemakaman, sebelum sholat jenazah berlangsung sayapun bernazar, tak berkesempatan membawa keranda Kiai bukan alasan terpuruk, saya mesti bangkit dan mencium keranda Kiai sebagai bentuk cinta dan pelepasan terakhir, rupanya takdir semesta yang dianugerahkanNya berjalan sesuai keinginan, sayapun segera mencium keranda kiai dan bertawakal mengirim fatihah.

Kiai Idris memang telah wafat tahun 2012 yang lalu, namun laqab Rembulan di Kursi Roda tetap melekat pada dirinya, melekat dalam ingatan saya dan semoga surga kado yang nyata bagi Kiai Idris, Amien.

Junglorong, 16 Desember 2019
Alumni TMI Al-Amien Prenduan (2006), angkatan 31 Sunsavista (Anak-anak Matahari), Majlis Keluarga Pondok Pesantren Al-Ittihad Junglorong Komis Kedungdung Sampang Madura. HP 087850742323

KIAI JENNAM (BLUTOH): KIAI MUKASYAFAH DAN AHLI MAKAN MAKANAN MUTIH


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Perjumpaan tak sengaja dengan Kiai Jennam kisaran 10 tahun lalu, usianya kala itu 111 tahun. Usia yang saya pikir sangat fantastis lebih fantastis lagi ketika menyaksikan kulitnya nyaris tanpa keriput baik di tangan maupun wajah.
Pertemuan ini terjadi mana kala kami usai sholat ashar, tepatnya setelah saya ikut lomba cipta puisi spontan dan berada di waktu senggang. Saya yang hanya memakai kaos dan celana panjang dan tak memakai kopiah.
Seorang berpeci hitam dengan tanpa kerutan di wajah dan tangan menyapa saya dan mengajak saya bermain ke kediamannya. Saya hanya mengangguk lalu mulai mengikuti dari belakang. Sesampainya di sebuah rumah saya dipersilahkan duduk di kursi.
Berpenampilan ala kadarnya adalah yang saya pilih karena memang niat utama hanya ikut lomba cipta puisi bukan berjumpa kiai atau tokoh masyarakat. Berada di dekat seorang lelaki tua yang tampak kharismatik yang tak menampakkan hati diri sebagai kiai, hati saya bergetar tak karuan.
Seorang tipikal kiai yang sangat low profil dan punya selera humor cukup tinggi membuat rasa gugup saya perlahan sirna. Lalu lalang keluarga beliau diperkenalkan kepada saya, seraya memberikan informasi penting perihal orang-orang yang dikenalkan pada saya tentunya diselengi candaan.
Anak saya itu kalau tidak kuliah S2 maka ucapannya akan banyak diabaikan orang. Dia harus kuliah. Saya hanya mengangguk, sesekali menunduk. Saya mulai bergumam apakah Kiai sedang menyindir saya secara tidak langsung agar saya melanjutkan kuliah ke S2 setelah menyelesaikan S1 atau memang berbicara yang sebenarnya.
Kalau sampean itu cepat dapat rejeki cepat pula habisnya. Kelak akan menikah empat kali, ucapnya. Saya menimpali cukup sekali saja kiai dan doakan dapat yang mantap sekiranya tak pernah berjumpa, tak pernah dipegang kecuali setelah ijab-qabul. Kiai memandang ke arah saya sambil tersenyum.
Ini istri saya yang nomer dua, ucap Kiai Jannam setelah seorang perempuan berpakaian muslimah menyodorkan kopi pada kami. Memangnya usia kiai berapa kok tampak awet muda? Usia saya seratus lebih. Bagi donk resepnya? Biasa makan makanan mutih. Kata Kiai Jennam sambil tersenyum tipis-tipis.
Uang sampean cepat habis dengan orang terdekat. Kata Kiai Jennam memulai pembicaraan setelah menyeruput kopi. Aduh kok mudah ditebak diriku, gumam saya setelah mendengar ucapan Kiai Jennam, akhirnya keusilan sayapun muncul. Kok seyakin itu kiai menebak saya? Ada kitabnya, kemudian Kiai Jennam meninggalkan saya lalu masuk dalam rumah kemudian membawa beberapa kitab.
Tiap perempuan memiliki kelemahan yang berbeda tiap tanggalnya. Agar kamu tidak kalah setelah menikah ini ada rahasianya. Saya mulai kebingungan dengan ucapan Kiai Jennam, apakah beliau memang memiliki mukasyafah sebab semua ucapannya benar adanya. Semacam ingin menyindir saya untuk cepat menikah. Semacam tahu masalah hidul saya, tiap pulang dari pondok setelah ditanya orang tua kapan mau nikah.
Kiai Jennam seakan ingin menegaskan bahwa cepat menikah mematuhi perintah orang tua adalah baik dan bahkan sangat baik. Bahwa keperkasaan seorang pria bukanlah momok yang menakutkan, semua permasalahan ada solusinya.
Belakangan setelah saya menikah, saya ingat-ingat kembali bahwa perempuan yang menjadi istri saya adalah perempuan yang tidak pernah saya lihat dan belum pernah saya pegang tangannya kecuali setelah ijab-qabul, semacam punya keterkaitan peristiwa seperti yang pernah saya utarakan pada Kiai Jennam. Wallahua’lam bisshowab

Probolinggo, 29 Februari 2020

KH. MOH. IDRIS JAUHARI DAN KEISTIQAMAHAN MENGHARGAI WAKTU

                   KH. Moh. Idris Jauhari
(Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan (2007-2012))

Oleh Moh. Ghufron Cholid

Berbicara tentang KH. Moh. Idris Jauhari selalu ada sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan dan dikisahkan. Kiai satu ini sangat istiqamah soal waktu. Bagi kiai menghargai waktu bukan hanya sesuatu yang diucapkan melainkan sudah menjadi laku keseharian.
“Lebih baik menunggu daripada ditunggu.” Ini bukan hanya kabar burung melainkan sesuatu yang nyata dalam hidup yang dilakoni oleh seorang kiai, yang pernah menjadi Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan (2007-2012).
Jika anda bukan seorang yang istiqamah dalam menghargai waktu maka bersiaplah untuk berada dalam situasi yang serba bersalah, bila anda mengundang KH. Moh. Idris Jauhari karena bisa jadi kiai datang lebih awal sebelum acara dimulai. Bisa jadi persiapan belum matang, kiai sudah berada di tempat anda.
Segala  aktivitas kiai sudah berada dalam daftar koordinator harian atau yang lebih familiar dengan nama KOHAR. Meminta referensi pada pengurus KOHAR adalah jalan terbaik yang bisa anda tempuh, agar kedatangan anda untuk mengundang kiai tidak sia-sia. Atau datanglah jauh-jauh hari sebelum acara yang anda agendakan, agar anda bisa mengundang kiai sesuai keinginan, sehingga bisa dicocokkan dengan kegiatan pesantren. Sebab jika acara anda berbenturan dengan acara penting pesantren yang harus dihadiri kiai, anda hanya akan memperoleh ucapan mohon maaf tidak bisa hadir.
Dalam pandangan Kiai Idris, pesantren beserta para santrinya adalah istri pertama. Menjadi istri Kiai Idris harus siap dimadu dengan pesantren, lebih spesifik lagi santri. Maka tidaklah mengherankan sebutan abah Idris juga melekat pada diri beliau, sebuah julukan yang disematkan santri-santrinya.

Tanggul Jember, 29 Februari 2020
*santri KH. Moh. Idris Jauhari, alumni TMI Al-Amien Prenduan (2006), pendiri Lesbumi Kedungdung Menulis. Alamat Rumah Pondok Pesantren Al-Ittihad Junglorong Komis Kedungdung Sampang Madura. Hp 087850742323

KISAH KH. ANWARUDDIN KETIKA NYANTRI DI AL-KHOZINY BUDURAN

                         KH. Anwaruddin
(Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ulum Tlageh Galis Bangkalan)
Oleh Moh. Ghufron Cholid

Adanya Kiai untuk mengatur masyarakat, bukan masyarakat yang mengatur Kiai. KH. Anwaruddin

KH. Anwaruddin adalah satu ulama yang dimiliki oleh masyarakat tlageh galis. Sebutan Gus Tammar yang paling familiar. Seorang alumni Pondok Pesantren Assirojiah Kajuk.

Ada yang menarik dari Gus Tammar ketika nyantri di Alkhoziny Buduran Sidoarjo. Kala itu, Gus Tammar hendak memilih menjadi santri yang tholibil ilmu. Bagi Gus Tammar menambah ilmu adalah hal yang sangat digemari.

Suatu ketika Kiai hendak bepergian, dan meminta Gus Tammar untuk menggantikan Kiai mulang santri di kelas. Santri yang lebih lama atau bisa dibilang lebih senior satu persatu masuk kelas.

Gus Tammar memperhatikan satu persatu. Sungkan adalah kata pertama yang terbersit di kedalaman hatinya. Namun dawuh Kiai lebih penting dari segala. Lebih penting daripada rasa sungkan yang datang dan menetap di hati.

Satu persatu santri mulai duduk di tempatnya masing-masing, Gus Tammarpun meletakkan kitab di atas dempar, tempat Kiai biasa meletakkan kitab. Santri lain saling pandang semacam menegaskan rasa heran.

Ragam pandangan tersemai di hati para santri. Ketika Gus Tammar membuka kitab dan melaksanakan dawuh Kiai Buduran untuk mulang hingga tuntas jam belajar kitab.

Pandangan sinis yang tak terucap dari para santri berubah mrnjadi rasa takjub. Ada yang berpandangan bahwa penugasan memulang kitab kepada Gus Tammar adalah tepat. Ada pula yang berpandangan bahwa penugasan tersebut didasarkan karena memang Kiai punya ilmu mukasyafah.

Gus Tammar sendiri tak pernah menanyakan kepada para santri Buduran apakah cara memulang kitabnya sudah benar. Yang ada di benak Gus Tammar kala itu hanyalah melaksanakan dawuh Kiai lebih penting dari segala.

Tanggul Jember, 29 Februari 2020

Jumat, 28 Februari 2020

KH. MOH. IDRIS JAUHARI DAN TAMU YANG DIISTIMEWAKAN


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Saya termasuk seorang yang menyukai segala hal yang menantang dan sangat sulit dinalar. Saya hanya ingin mendatangkan seseorang yang menurut saya layak untuk didatangkan ke pesantren kendati beda agama.
Hanna Fransisca dengan buku puisi Konde Penyair Han, yang tak sempat saya ikuti peluncuran bukunya di Jakarta, saya ingin mewujudkannya diselenggarakan di Madura.
Beruntung Hanna Fransisca​​ kala itu memiliki undangan untuk hadir ke sebuah acara di Pamekasan Mandura, karena saya pikir acara tersebut dekat dengan pesantren Al-Amien Prenduan maka saya meminta Hanna sekalian mampir ke pesantren.
Rupanya kabar tentang akan kedatangan tamu beda agama sampai kepada KH. Moh. Idris Jauhari yang kala itu sudah menjabat Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan.
Para guru yang tergabung dalam KGBE Bahasa Indonesia dipanggil untuk menghadap kiai di kediaman.
Setelah para guru berkumpul, kiai Idris berdawuh, pondok kita akan kedatangan seorang penyair beretnis Tiong Hoa bernama Hanna Fransisca maka berikanlah penyambutan yang terbaik, tunjukkan kepada Mbak Hanna bagaimana seorang muslim memuliakan tamu.
Kami mengangguk serempak seakan paham keinginan kiai. Kamipun bergegas mempersiapkan segala hal yang terbaik.
Tepat 21 Maret 2011 adalah moment bersejarah bagi Hanna Fransisca pada khususnya dan bagi etnis Tiong Hoa serta keluaga besar pesantren pada umumnya, Hanna Fransisca beserta rombongan datang ke pesantren dengan dua bus dan tiga mobil pribadi.
Buku puisi Konde Penyair Han diapresiasi dalam tiga bahasa yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Arab.
Tak ada diskriminasi yang adalah saling mengapresiasi dan memberikan yang terbaik, perlahan saya mengerti bahwa Islam mesti diperkenalkan dengan wajah aslinya yang penuh kasih sayang, diperkenalkan tata cara terbaik dalam melayani tamu maka yang saya temukan adalah kebahagiaan.
Dari peristiwa berharga ini, saya semakin jatuh cinta pada sosok KH. Moh. Idris Jauhari, kiai yang tinggal di desa, kiai yang begitu kharismatik yang lebih memilih mengenalkan sisi yang paling lembut dari Islam yang lebih memilih memuliakan tamu kendati beda agama, yang lebih suka mengenalkan Islam sebagai agama cinta kasih.

Junglorong, 27 Januari 2020

KH. MOH. IDRIS JAUHARI SANG PEREDAM GEJOLAK

                    KH. Moh. Idris Jauhari
(Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan yang wafat tahun 2012)

Oleh Moh. Ghufron Cholid

Berbicara KH. Moh. Idris Jauhari selalu ada sisi yang sangat menarik untuk dibahas, kali ini saya akan berkisah tentang KH. Moh. Idris Jauhari sebagai seorang peredam gejolak.
Menyadari santrinya memiliki ragam kecendrungan dalam bertingkah laku dan berkarya maka KH. Moh. Idris Jauhari lebih memilih menjadi seorang peredam gejolak.
Cerita ini bermula ketika seorang kawan saya yang seangkatan dengan saya, yang juga seorang penulis novel Membunuh Takdir, yang ketika itu ingin mengadakan lounching dan bedah buku di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Novel ini berlatar lombok dan juga berlatar belakang pesantren di Madura. Novel ini mendapat pertentangan keras dari guru senior yang menyetempel novel ini dengan stempel merah alias tak layak dibaca santri.
Ketika kami hendak menyampaikan hasrat untuk mengadakan lounching dan bedah buku novel tersebut, Kiai Idris tersenyum seraya menatap kami.
Novel Membunuh Takdir yang telah kamu tulis Ron, sangat menarik. Putri saya sangat menyukai dan malah novel sayapun juga dibawa ke Malang oleh Hanun. Novel yang saya maksudkan adalah novel Membunuh Takdir karya Fataroni. Saya sudah membaca novel tersebut. Novel ini memiliki catatan khusus dari saya. Novel ini menegaskan seorang santri yang tidak percaya barokah, maka kau harus menerbitkan novel lagi yang merupakan kelanjutan novel ini yang menegaskan bahwa di pesantren masih ada barokah. Kabar baiknya dari Novel Membunuh Takdir bahwa di pesantren masih ada demokrasi. Spontan kami mengangguk mendengar penuturan Kiai Idris.
Saya mulai menemukan binar cahaya di wajah Fataroni karena mendapat sambutan yang bagus atas novel yang ditulisnya, yang kaya kontroversi tersebut.
Lebih lanjut Kiai Idris menegaskan novel ini boleh dibedah di Al-Amien Prenduan selain di TMI, kamu boleh memilih membedah di PONTEG, Putri I atau MTA boleh juga di IDIA namun jangan dibedah di TMI karena tokoh yang ada dalam novel ini adalah seorang yang saya kenal.
Sesekali Kiai menatap Fataroni dan sesekali menatap ke arah saya, kalau Ghufron kamu boleh ikut acara lounching dan bedah buku novel Fataroni setelah RGL (Rapat Guru Lengkap) pondok kita.
Tak terasa malam semakin larut menunjukkan 00.00 WIB dan sayapun beserta Fataroni undur diri ke asrama dengan perasaan bahagia.

Junglorong, 27 Januari 2020

Kamis, 27 Februari 2020

KIAI YANG GEMAR TIRAKAT


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Berbicara sosok KH. Bakri Munawwir maka membicarakan masa mudanya adalah hal yang sangat asyik untuk diketahui. Kegemaran tirakat sangat melekat dengan sosok ulama yang satu ini. Namun kegemaran seperti ini tampaknya mendapatkan perhatian khusus dari Kiai Munawwir. Akibatnya Kiai Bakri muda menempuh jalan setapak agar terhindar dari sorotan masyarakat, yang jika terlacak Kiai Bakri muda akan dibawa pulang untuk dipertemukan dengan Kiai Munawwir.
“Mon hedeh ngatelak Bakri ajelen e jelen rajeh maka gibeh mole kadinnak sebeb Bakri reah ken entarra atirakat!” Demikian pesan yang disampaikan Kiai Munawwir kepada masyarakatnya. Ucapan yang begitu dipatuhi membuat Kiai Bakri muda tak patah arang.
Suatu ketika hasrat untuk tirakat muncul kembali di benak Kiai Bakri muda dan sasaran yang akan menjadi tempat tirakatnya adalah Gunung Gegger yang berada di kawasan Bangkalan. Jalan yang ditempuh adalah jalan setapak yang jarang dilalui orang dan itupun dilakukan dengan cara menyamar.
Jalur utara lebih dipilih oleh Kiai Bakri muda, jalan menuju Gunung Rongmarong. Waktu itu matahari sudah mendekati senja dan Kiai Bakri belum sholat ashar maka Kiai Bakri mudapun memilih untuk segera sholat ashar di semak-semak belukar. Sekitar tempat selalu ada bunyi desisan ular dan semak-semak yang selalu digoyang namun Kiai Bakri muda tetap menyelesaikan sholatnya. Tak goyah dengan desisan ular.
“Ontong cong, hedeh tak ekakan olar rajeh (Untung Nak, kamu tidak dimakan ular besar) kata seorang yang begitu asing dan memang tidak dikenal. Kiai Bakri muda berdiam sejenak lalu menimpali, “Aponapah teh mik adebu kadik nikah? (kenapa paman berbicara seperti itu?”) tanya Kiai Bakri muda keheranan.
“Edinnak kennengah olar rajeh cong, biasa deddi bedlebedennah olar saengge jarang elebedin manossa!, kadimmaah hedeh mik lebet jelen reah miktak lebet jelen rajeh beih makle salamet?!” (di sini tempat ular besar Nak, biasa menjadi tempat dilewatinya ular besar sehingga jarang dilewati manusia! Mau ke mana Nak kenapa lewat jalan ini mengapa tidak lewat jalan besar biar lebih aman?!”
Kiai Bakri muda diam sejenak, lalu berucap kauleh terro entarra ka Gunung Gegger teh! Seketika itu lelaki paruh baya yang dipanggil gutteh itu tersentak. “Mole, mole beih cong bahaya, edinnak benni betlebedennah, edimmah romanah mayuh bik sengkok hedeh eateraginah mole karomana beih.
“Ampon, kalangkong kauleh alanjut aginah perjelenan beih!” lelaki paruh baya itupun berlalu meninggalkan Kiai Bakri muda sedang Kiai Bakri langsung melanjutkan perjalanan.
Kala itu malam Jum’at dan langit sudah sangat gelap. Kiai Bakri muda sudah berada di ouncak Gunung Rongmarong hendak melanjutkan perjalanan ke Gunung Gegger. Tak dinyama Kiai Bakri muda berjumpa seorang serba putih. Lelaki itupun menanyakan hendak ke mana Kiai Bakri muda akan pergi sekaligus menawarkan bantuan. Sementara Kiai Bakri muda hanya memfokuskan pandangan ke arah kaki orang yang ditemui. Untuk memastikan bahwa yang dijumpai adalah manusia dan nyata, untuk memastikannya adalah dengan melihat kakinya masih menempel ke tanah atau tidak.
Kiai Bakri muda mulai yakin bahwa yang ditemuinya adalah manusia karena kaki lelaki serba putih yang ditemui menempel ke tanah dan mulai menerima tawaran lelaki serba putih tadi.
“Kauleh terro entarra ka Gunung Gegger ben terro atarakatta e Gunung Gegger!”
“Tegguk tang tanang cong marenah jiah meddem!” ucap lelaki serba putih memberi perintah.
Kiai Bakri tanpa ragu mengikuti instruksi lelaki serba putih dan keajaibanpun terjadi setelah Kiai Bakri muda membuka mata, lelaki serba putih sudah raib dari pandangan sedang Kiai Bakri muda sudah sampai di tempat tujuan, sesuai yang dituturkan kepada lelaki serba putih yang mengantarnya.
Berada di Gunung Gegger Kiai Bakri memakan makanan alakadarnya. Biasanya ketika malam Jum’at banyak masyarakat yang memberi tumpeng. Di sisi lain, rupanya keberadaan Kiai Bakri muda terlacak oleh Kiai Munawwir maka dengan segera Kiai Munawwir menugaskan Kiai Sabrawi dan satu orang laki-laki untuk menemani Kiai Sabrawi.
Titah dari Kiai Munawwir segera dijalankan oleh Kiai Sabrawi dan seorang laki-laki yang dipercaya Kiai Munawwir untuk menemani Kiai Sabrawi guna membawa pulang Kiai Bakri muda. Sesampainya di Gunung Gegger Kiai Sabrawi meminta adiknya untuk ikut pulang srbab ayahnya telah menunggu. Namun Kiai Bakri malah mempersilahkan kakak dan orang laki-laki yang menemani Kiai Sabrawi untuk pulang terlebih dahulu. Sementara Kiai Bakri muda akan menyusul.
Waswas adiknya tidak akan pulang, Kiai Sabrawi dengan rekannya tak langsung pulang melainkan meminta kepastian sekaligus melihat prosesi Kiai Bakri yang akan pulang ke Blega. Setelah dirasa yakin Kiai Sabrawi dan rekannya pulang lebih dahulu. Namun keajaiban terjadi, nyatanya Kiai Bakri muda sudah sampai rumah yang ada di Blega sebelum Kiai Sabrawi dan rekannya tiba.

Junglorong, 28 Februari 2020

KIAI AS'AD PLANGGEREN BLEGA, ULAMA YANG DIBERKAHI KEMAMPUAN MENGENALI NABI HIDIR YANG SEDANG MENYAMAR

                       Kiai As'ad Marzuqi
                        (Planggeren Blega)

Oleh Moh. Ghufron Cholid


Tahukah anda bahwa di Blega tepatnya di Planggeren ada seorang ulama yang mampu mengenali Nabi Hidir yang sedang menyamar. Penyarannya yang rapi terstruktur dan massif ini rupanya tak semua ulama diberkahi mampu mengenali Nabi Hidir.

Nabi yang satu ini memang kerap hadir dalam penyamaran yang sulit diterka hanya orang khusus yang mampu mengenalinya dan salah satu ulama khusus itu bernama Kiai As'ad. Saudara dari Nyai Shofiyah Marzuqi atau paman dari KH. Bakri Munawwir (ulama yang dijuluki Macan Blega).

Suatu hari, Kiai As'ad didatangi oleh KH. Bakri Munawwir, yang tak lain adalah keponakan dari Kiai As'ad. Pertemuan dua kiai kharismatik yang masih memiliki ikatan darah, dilatarbelakangi oleh kegelisahan KH. Bakri Munawwir yang saat itu menyesal bertengkar dengan tamu misteriusnya yang kerap bertanya seputar akidah dengan pertanyaan yang sangat nyeleneh.

Karakter tatak (tegas) yang dimiliki KH. Bakri Munawwir yang tak kenal kata kompromi dengan segala bentuk kemungkaran dan ketakpatutan seseorang hamba yang kerap mempertahankan Tuhannya kepada ulama dengan pertanyaan nyeleneh membuat KH. Bakri Munawwir naik pitam dan melempar caping tamunya lalu mengusir tamunya dengan penuh kegarangan dengan maksud agar tamu tadi tak sembrono dalam beraqidah.

Begitu kemarahan KH. Bakri Munawwir mereda, segera mengutus para santri melacak keberadaan tamu misterius tersebut. Tak dinyana tamunya raib tanpa jejak padahal para santri kala itu ada yang berada depan masjid dan ada pula yang berada di area pondok yang menjadi tempat berjalannya tamu misterius. Pencarian nihil walhasil KH. Bakri Munawwir tersadar bahwa tamu yang telah diusirnya adalah Nabi Hidir.

Peristiwa yang tak biasa tersebut dikisahkan kepada pamannya dengan satu keinginan agar Allah mempertemukan KH. Bakri Munawwir dengan Nabi Hidir lewat kiai khos yang diyakini KH. Bakri bisa menjadi wasilah tercipta perjumpaan tak terduga dengan Nabi Hidir.

Kiai As'ad orang yang luhur budinya. Luas ilmunya. Tawadlu prilakunya hanya tersenyum menyaksikan keberadaan keponakannya. Sesekali tersenyum. Sesekali menunduk. Sesekali menggelengkan kepala lalu mengelus dada.

Di malam yang gerimis. Di tengah keasyikan mengobrol antara keponakan dengan pamannya. Tanpa diduga muncul tamu yang mengejutkan KH. Bakri dan membuat tersenyum Kiai As'ad. Seorang tamu tak dikenal namun banyak maunya. Seorang tamu yang menggampangkan permintaan kepada ulama yang ditemuinya. Permintaan yang juga tak bisa dibilang sepele yakni minta disiapkan sarung yang bagus untuk dikenakan.

KH. Bakri Munawwir yang menyaksikan pemandangan tak lazim atau bisa dibilang keluar dari garis kepatutan adab seorang tamu kepada ulama langsung naik pitam. Langsung tegak dengan amarah yang tak bisa dijawal sementara Kiai As'ad hanya tersenyum dan tamunyapun meminta dengan sangat segera permintaan tersebut dipenuhi oleh Kiai As'ad.

Kiai As'ad mengarahkan pandangan kepada tamu misteriusnya, sesekali tersenyum lalu mengangguk. Tak ada amarah tumbuh. Tak ada kesal menjalar.

Tamu Kiai As'ad semakin ngotot minta permintaan segera dipenuhi oleh Kiai As'ad sementara KH. Bakri Munawwir terus mengingatkan tamu yang tidak sopan dengan harapan segera bersikap sopan. Nada suara KH. Bakri semakin meninggi sedangkan sang tamu semakin abai dan tak mempedulikan apa yang diucapkan KH. Bakri sementara Kiai As'ad semakin tersenyum dan bergegas menuju kamar untuk mengambil sarung yang sesuai permintaan tamunya.

Seketika langit menjadi hening. Tak ada percakapan yang ada hanyalah saling berbagi pandangan.

Bagi Kiai As'ad merahasiakan identitas tamu lebih dipilih agar tiap tamu tersebut bisa lebih leluasa berkenalan dan mengeluarkan sifat aslinya.

Kendati Kiai Bakri sudah mengutarakan keinginan untuk bisa bertemu Nabi Hidir secara langsung dan menyampaikan permintaan maaf, Kiai As'ad lebih memilih membiarkan keponakannya bertemu Nabi Hidir dengan sangat natural. Tidak mengumbar identitas adalah pilihan yang ditempuh karena Kiai As'ad sudah tahu bahwa karakter KH. Bakri Munawwir dan Nabi Hidir bagai air dan api yang takkan pernah akur. Selama identitas orang yang ditemui KH. Bakri belum terungkap. Demikian Nabi Hidir yang memang suka menguji kesabaran KH. Bakri seperti halnya menguji kesabaran Nabi Musa saat berjumpa dan berguru kepada Nabi Hidir.

Kiai As'ad bergegas menyodorkan sebuah sarung bermerk kelas atas yang masih lengkap dengan cap maupun plastiknya dan tanpa ragu memberikan kepada tamunya untuk dibawa pulang. Setelah menerima sarung dari Kiai As'ad Nabi Hidir bergegas pamit sementara KH. Bakri masih merasa heran dengan pemandangan yang baru saja dilihatnya. 

Ada semacam perasaan tak percaya bahwa yang dilihatnya adalah kenyataan. Ada perasaan geram karena menurut Kiai As'ad terlalu memanjakan tamu walaupun tamu tersebut tak diketahui identitasnya dan bertindak tidak sopan. Ada perasaan eman karena sarung yang diberikan Kiai As'ad kepada tamunya terbilang bagus dan mahal. 

Belum juga KH. Bakri tersadar dari perasaannya yang bercampur baur. Antara heran, geram dan eman. Suara yang sangat dikenal KH. Bakri membangunkan dari lamunan.

"Kri, kocakna hedeh terro katemonah Nabi Hidir, terro asaporaah, hedeh lamareh katemon ghikburu maktak asaporah balik hedeh anasehatin tang tamoy!"

Mendengar penuturan Kiai As'ad sejenak KH. Bakri tertegun. Larut dalam tanda tanya seolah ingin memastikan bahwa yang dikatakan Nabi Hidir bukanlah seseorang yang telah dinasehatinya untuk sopan kepada Kiai. 

"Kri, ghik buruh sesetemonen hedeh, sesempat mapeggel hedeh ajuah saleranah Nabi Hidir!"

Seketika KH. Bakri Munawwir tersentak. Mencoba memastikan bahwa yang disampaikan Kiai As'ad hanyalah gurau belaka sebab penuturan Kiai As'ad disertai senyuman. Namun setelah berulang kali Kiai As'ad mengungkap jati diri tamu misterius yang ditemuinya adalah Nabi Hidir, kembali KH. Bakri menyesal sekaligus bersedih karena merasa belum sempat memuliakan Nabi Hidir dengan sebaik-baik penghormatan.


Junglorong, 28 Februari 2020


Rabu, 26 Februari 2020

ASTA SAYYID SYAMSUDDIN



memasuki pintu dari astamu
bulu kuduk berdiri
sukma gemetar tak terkendali

bertahun-tahun kucari-cari adamu
tak kusangka sowan
selepas dhuhur membuka pertemuan

menantu bhujuk ombul
putra sayyid abdurrahman
saudara sayyid abdul mannan
adalah kau, sayyid syamsuddin

kubaca kembali amtsal keturunan
junglorong dalam talian
dalam tarikan wirid pilihan

menatapmu, aku tak bisa
meniru istiqamahmu, aku tak kuasa
dalam 11 surat al-ikhlas dan 7 al-fatihah
kita berjumpa sejenak
pada astamu, aku hanya merunduk

barangkali esok atau lusa
bahkan masa yang tak tentu jumlahnya
kita sebaris doa
atau seshaff dalam ridhaNya


Moh. Ghufron Cholid
Junglorong, 12 Januari 2020
*Merupakan kakek dari Sayyid Abdullah (Bujuk Ambessi, Junglorong), dan menantu dari Bujuk Ombul. Sayyid Syamsuddin merupakan putra dari Sayyid Abdurrahman (Bujuk Bira), berjuluk Bujuk Perreng Ngamuk, ada juga yang mengatakan Bujuk Krang Ngamuk, dimakamkan di daerah Ombul Kedungdung Sampang Madura.

IMAM GALIH NAMA LAIN SENYUMAN

Oleh Moh. Ghufron Cholid

Imam Galih nama lain senyuman, merupakan pembuka tulisan yang saya sematkan pada salah seorang tokoh teater hilal yang sangat erat dengan julukan mencari wajah. Entah siapa yang pertama kali yang mencetuskan namun tiap kali membicarakan mencari wajah maka yang paling mengemuka adalah nama Imam Galih.
Sosok yang satu ini memang pandai memuat orang tersenyum dan bisa menjadi terapi untuk menghilangkan kerutan di wajah.
Membicarakan sosok Imam Galih apalagi berjumpa dengan Galih maka anda sudah bisa dikatakan siap tersenyum. Orang yang sangat supel. Cepat akrab dengan orang asing dan mampu membuat duka lara terasing.
Imam Galih merupakan orang Sukabumi, baginya membahagiakan orang atau membuat orang tersenyum sudah selaksa udara bagi manusia untuk bernafas.
Yang paling tak bisa saya lupakan tentang sosok satu ini adalah kedatangannya ke Junglorong dan tampil di acara haftam Madrasah Nahdlotut Tholibin sekaligus ulang tahun pesantren belasan tahun silam. Saya yang membaca puisi dan Imam Galih yang memainkan seruling.
Imam Galih nama lain senyuman, kehadirannya adalah kebahagiaan. Di tengah rekan-rekan ialah penghilang kedukaan dan kerutan di wajah. Semua yang kenal dengan sosok ini akan sepakat dengan apa yang saya ilustrasikan seputar sosok Imam Galih meski kesepakatan tersebut bernilai di bawah 100% sebab yang 100% hanyalah milik Allah, Tuhan Maha Sempurna.

Junglorong, 26 Februari 2020

KAPAL SYEICHONA CHOLIL

Berada di kapalmu
Angin rindu merasuk kalbu
Sekita juangmu
Begitu bara
Setika takjubku
Begitu tertata

Berada di kapalmu
Waktu kembali kisahkan adamu
Kiai-kiai besar lahir dari didikanmu
Berbicara Madura dengan pesonanya
Kau tak luput cerita

Moh. Ghufron Cholid
Junglorong, 26 Februari 2020
*Berlokasi di daerah Telaga Biru Bangkalan, berdekatan dengan Pantai Sarimuna dab Pelabuhan Telaga Biru. Kapal ini merupakan kapal peninggalan Syeichona Cholil Bangkalan.

Senin, 24 Februari 2020

SAYYID SYARIFUDDIN



bukan hanya panggilan telphone
yang membuat sesuatu terhubung
dari kejauhan yang paling linang
bukan pula dari tulisan yang diweselkan
betapapun keras aku ingin bertemu
bertemu denganmu
jika pintu langit
belum jadi pintu bumi
belum jadi pintu diri

tetapi aku tak menunggu
aku tak diam
aku bergerak dan terus bergerak
membaca segala amtsal
membaca segala kemungkinan
sampai jalan paling terjal

aku percaya
jika doa berpadu gerak
sampai segala lekuk
menuju
rukuk
kau dan aku
satu bentuk
khusyuk


Moh. Ghufron Cholid
Junglorong, 21 Januari 2020
*Sayyid Syarifuddin di catatan Junglorong merupakan orang tua dari Sayyid Abdullah. Berjuluk Bhujuk Banjarsokah, namun Sayyid Syarifuddin lebih dikenal dengan nama Bhujuk Sarebuh.

SAYYID SUED


kuamati tiap kelok waktu
      tak jua kutemukan debarmu di situ

berulangkali kucari signal adamu
        berulangkali aku disergap pilu

tahun 2020 dalam lembar januari
            signal tentangmu ada namun belum kuat

tampaknya fatihah yang kukirim
       belum menemukan share lokasi jitu

barangkali mesti ada pertemuan
lebih mendalam, lebih nyaman

aku mesti terpisah dari diriku
terpisah dari pernak-pernik amarahku
terpisah dari serba-serbi keangkuhanku


Moh. Ghufron Cholid
Junglorong, 21 Januari 2020
*Sayyid Sued merupakan putra dari Sayyid Abdullah yang berjuluk Bhujuk Ambessi Junglorong yang dimakamkan di daerah Biruh. Sayyid Sued konon dimakamkan di daerah Kodek, sayangnya sampai sekarang tak terlacak dikarenakan yang biasa ziarah sudah wafat. 

SEPASANG SENIMAN YANG DICEMBURUI WAKTU



Oleh Moh. Ghufron Cholid

Apa jadinya jika seorang Pendongeng bertemu seorang Nolevis pasti malam pertamanya sangat seru. Saya tak dapat membayangkan sebab saya tak pernah mengalaminya tapi dua tokoh ink bukan tokoh fiktif, ianya nyata bahkan sangat nyata.

Ustad Ahmad Sanusi​​ dan Endang Kartini​​ adalah tokoh yang benar adanya. Keduanya adalah alumni pondok pesantren Al-Amien Prenduan. Yang satu alumni TMI dan satunya alumni TMaL. Keduanya bersepakat membina rumah tangga dan hidup bahagia.

Yang laki-laki adalah wali kelas saya saat 3 Intensif B sebuah jenjang pendidikan yang ditempuh oleh santri yang masuk Al-Amien Prenduan dengan menggunakan ijazah SMP/sederajat. 3 Intensif merupakan perpaduan dari pertengahan tahun pertama untuk 3 MTs sedangkan pertengahan tahun berikutnya untuk kelas 1 MA.

Yang perempuan merupakan senior saya di Sanggar Sastra Al-Amien (SSA) mesti tak pernah bertemu, antara penulis putra dan putri terpisah maka secara kaderisasi tetaplah senior saya, yang lahir dari rahim Sanggar Sastra Al-Amien.

Yang laki-laki lebih istiqamah mendongeng secara vokal dan visual dan yang perempuan lebih istiqamah di seni menulis, namun yang pasti kerurunannya mewarisi jiwa seni meski keseniannya bisa dikatakan berbeda. Eit ada yang lupa selain mendongeng Ustad Ahmad Sanusi juga piawai menulis Arab dengan bahasa yang lebih familiar Khattat.

Ternyata bukan hanya seorang ulama yang juga mewarisi ilmu, aenimanpun juga bisa menurunkan jiwa seninya pada titisannya atau yang dalam bahasa orang Madura bisa disebut Nak poto julukan buat anak atau keturunan.

Yang pasti keduanya saling melengkapi. Saling menginspirasi namun nyatanya yang dominan menginspirasi adalah Ustad Ahmad Sanusi nyatanya Ustadzah Endang Kartini semakin lengket dan nempel kayak perangko.

Barangkali tulisan ini bisa disebut sebagai kesaksian. Yang jelas keberadaan keduanya membuat saya iri untuk semakin karib dan melengkapi bersama istri. Bisa dibilang iri yang tak kenal kata no way.

Junglorong, 24 Februari 2020

Minggu, 23 Februari 2020

Sebuah Pengenalan

Lesbumi Kedungdung Menulis, saya dirikan pada hari Minggu, 23 Februari 2020, laman ini diniatkan sebagai ruang berkarya bagi siapa saja yang menyukai dunia tulis menulis. 
Lesbumi Kedungdung Menulis mulanya diniatkan untuk mencari dan menemukan bibit-bibit penulis di Kedungdung pada khususnya dan di Sampang pada umumnya. Namun karena kita berada di dunia virtual maka memungkinkan untuk memperlebar tujuan hingga manca negara. 
Biar ghirah tulis menulis bisa menjadi ruh dalam segala lini hidup syukur-syukur bisa melahirkan sesuatu yang semakin mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya. 

Siapa yang boleh mengisi laman ini?
Siapa saja diperbolehkan untuk mengisi sepanjang karya tersebut dipandang bagus dan memiliki nilai manfaat. 

Saya berharap Lesbumi Kedungdung Menulis bisa menjadi ladang berkarya bagi siap saja. Tak hanya terbatas orang Kedungdung bahkan dari manca negarapun juga bisa mengisi.

Hormat
Moh. Ghufron Cholid
Pondok Pesantren Al-Ittihad Junglorong Komis Kedungdung Sampang Madura
Hp 087850742323