Jejak Langkah

Jumat, 13 Maret 2020

KH. MOH. TIDJANI DJAUHARI, IJAZAH SHOLAWAT FATIH DAN TANDA TANGAN TERAKHIR


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Sholawat Fatih adalah sholawat andalan pondok pesantren Al-Amien Prenduan, biasanya di segenap acara bacaan ini akan bergema, mengecup langit keridhaan. Adalah hal yang sangat khas pula jika mendapat ijazah amalan di pondok ini tanpa melalui proses mencatat, melainkan dibimbing melalui ucapan.
KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA (Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan yang wafat 2007), merupakan ulama kharismatik yang membubuhkan tanda tangan terakhirnya di ijazah untuk generasi Sunsavista 31 & Sanvalery 17 (Sunser_317). Generasi lulusan tahun 2006 yang berjuluk anak-anak matahari.
Semasa hidup, KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA membekali santri-santrinya dengan amalan sholawat fatih sebanyak 11 kali bacaan saat melakukan perjalanan.
Belakangan sanad amalan ini saya dapatkan dari KH. Ahmad Fauzi Tidjani dengan sanad KH. Ahmad Fauzi Tidjani dari KH. Moh. Tidjani Djauhari dari Kiai Jauhari dari Kiai Chotib dari Kiai Jamaluddin Abdussomad dari guru-gurunya sampai bersambung kepada Rasulullah.
Kalau boleh saya ibaratkan keberadaan sholawat fatih bagi pondok pesantren Al-Amien Prenduan selaksa udara bagi nafas kehidupan maka mengamalkan sholawat fatih yang telah diijazahkan kiai adalah kebaikan.
Kendati demikian KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA tidak mewajibkan para santrinya untuk mengamalkan sholawat fatih. Sholawat ini boleh diamalkan boleh ditinggalkan, kiranya demikian yang saya pahami. Barangkali karena keluasan dan ketawadluan yang dimiliki beliau sehingga ijazah amalan ini menjadi suatu pilihan tetap dijalani sebagai keistiqomahan baik di pesantren maupun luar pesantren atau hanya sebagai serep (pusaka) yang boleh dikeluarkan kapan saja dibutuhkan.
Ketika ijazah ini diberikan dan khusus dibaca saat perjalanan, saya semacam menangkap isyarat bahwa bacaan ini bisa dijadikan sebagai bekal perjalanan dari seorang guru kepada seorang murid. Paling tidak sebagai wasilah atau tameng untuk terus berada di jalur keselamatan beriring keridhaan Tuhan.
Belakangan saya mendapatkan semacam penegasan dari putra sulungnya bahwa ijazah sholawat fatih ini bisa dibaca saban selesai sholat lima waktu sebanyak 11 kali boleh dibaca duduk, boleh dibaca sambil berjalan atau melakukan pekerjaan.
Belakangan saya memahami bahwa para masyaikh semacam hendak menegaskan bahwa sebuah amalan hendaknya dilakukan dengan riang dan tanpa tekanan, yang terpenting adalah keistiqomahan dalam mengamalkan.
Jika kembali mengingat amalan yang diijazahkan KH. Tidjani Djauhari untuk dibaca saat perjalanan barangkali kiai ingin agar dalam bertamasya atau melakukan perjalanan, hati kita hendaknya tetap terhubung kepada Nabi Muhammad, bukan seberapa banyak bacaan tetapi seberapa istiqamah kita membiasakan diri untuk melakukan dan mengeratkan ikatan bathin antara umat dengan nabinya.

Junglorong, 23 Februari 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar