Jejak Langkah

Selasa, 03 Maret 2020

KH. ABDUL ADZIM: KIAI JUNGLORONG DAN AMALAN HIZBUL BAHAR



Oleh Moh. Ghufron Cholid

Bagi seorang kiai merantau ke luar tanah kelahiran di mana berdiam. Bukan semata mengejar kenikmatan duniawi. Ada yang lebih penting dari itu, yakni berdakwah menyebarkan ilmu. Di samping muroq (memberikan santri ilmu agama), secara nyata kiai juga memberikan contoh untuk tidak melupakan kehidupan dunia. Melakukan usaha, agar hartanya berkah.

Kiai tidak hanya menfatwakan, tetapi mesti menunjukkan bagaimana cara hidup sesuai agama. Begitu pula yang dilakoni KH. Abdul Adzim ke Sebeh Dejeh. Membawa bekal perjalanan berupa sarung untuk menafkahi keluarga. Tentu ini bukan kerjaan utama sebab kerjaan utama adalah berdakwah menyebarkan ilmu Allah. 

Sudah berapa hari tinggal di Jebeh Dejeh menitipkan sarung untuk dijajakan kepada orang lain. Tanpa paksaan. Yang dilakukan KH. Abdul Adzim adalah sistem kepercayaan tanpa menaruh rasa curiga kepada yang dititipkan. Semua dianggap baik dan amanah sementara KH. Abdul Adzim tetaplah seorang kiai Junglorong yang andap asor. 

Awalnya hubungan KH. Abdul Adzim dengan orang yang dititipkan sarung untuk dijualkan dengan jalan tidak memaksakan kehendak, berjalan baik dan tidak ada tanda-tanda hubungan akan retak. Paling tidak hubungan terjalin sangat baik sampai KH. Abdul Adzim melanjutkan perjalanan.
Akad jual beli sudah ditegaskan secara rinci di awal sebuah dagangan berupa sarung dititipkan, hal inj untuk menghindari kemungkinan terburuk dan menjaga sikap kehati-hatian. Demikian KH. Abdul Adzim memandang hidup dari sudut pandang agama kendati dalam urusan mencari nafkah.

Selang beberapa hari dari dititipkannya dagangan sarung oleh KH. Abdul Adzim, orang yang dijadikan tuan rumah dan dipercaya menawarkan sarung kiai kepada orang lain berubah haluan. Merasa orang yang paling hebat bahkan sesumbar dengan berucap latorot sarong-sarong reah bik sengkok tak ebejerreh tak dek iyeh keah tak kerah taoh acarok (biar sarung-sarung ini tidak akan saya bayar, sebab kiai tidak mungkin tahu carok).

Sikap jumawa tersebut sampai kepada KH. Abdul Adzim yang kala itu berada sangat jauh jaraknya dari orang yang merasa paling hebat. KH. Abdul Adzim dukah secek sangetta (marah besar) mendengar ada yang begitu lancang meremehkan kiai. KH. Abdul Adzim tidak marah atas nama pribadi melainkan marah karena ada yang begitu kurang ajar pada sosok kiai, yang dalam pandangannya adalah seorang pewaris nabi dalam hal menebar kebaikan dan ilmu agama. 

KH. Abdul Adzim bergegas meninggalkan segala kegiatan di tempat yang baru. Kembali lagi ke rumah orang yang pernah dititipkan sarung namun sesumbar dengan angkuh. Sesampainya KH. Abdul Adzim di tempat tujuan, tuan rumah yang berapa waktu lalu dititipkan sarung kaget. Kenapa kiai kembali lagi ke sini, bukankah ini belum waktunya sampai kepada perjanjian kita. 

KH. Abdul Adzim mendekati orang tersebut dan memegang tangannya. Namun KH. Abdul Adzim tidak mengungkap bahwa yang pernah dikatakan tuan rumah sampai pada kiai. Sementara tuan rumah yang merasa angkuh dan merasa hebat, yang pernah mengucapkan kiai tak bisa carok semakin gemetar. 
“Bejer, bejer mon sateyah kakeh harus majer!”
“Bukankah belum sampai perjanjian dan lagi pula saya belum punya uang!”
“Koduh bejer, dulih bejer sateyah, harus nemuh!” ucap KH. Abdul Adzim dengan suara yang lebih meninggi sementara kulit tangan orang tersebut mulai mengelupas karena dipegang oleh KH. Abdul Adzim, keluarga tuan rumah tadi kebingungan ada yang meminta maaf berulang-ulang, ada pula yang keluar rumah untuk mencari uang guna membayar lunas semua sarung KH. Abdul Adzim dan yang dipegang tangannya oleh KH. Abdul Adzim selalu berucap, saporanah kiai. Saporanah kiai, abdinah lakar lasala. Saporanah.

Konon setelah kejadian itu. Lelaki yang pernah menjadi tuan rumah KH. Abdul Adzim tak kalnakaleh oreng pole (tidak menipu orang lagi). Sementara KH. Abdul Adzimpun tak pernah mengungkap kehadirannya yang tidak sesuai perjanjian didasarkan pada sesumbar yang pernah diucapkan tuan rumahnya, yang mengucapkan kiai tak taoh acarok. Konon pula tangan yang mengelupas ketika dipegang oleh KH. Abdul Adzim adalah efek dari amalan Hizbul Bahar yang biasa menjadi riyadohnya, yang hanya dikeluarkan dalam keadaan tertentu agar seseorang tidak menggampangkan dan meremehkan sosok kiai.

Junglorong, 3 Maret 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar