Jejak Langkah

Senin, 09 Maret 2020

KH. MOH. IDRIS JAUHARI DAN KHASIAT DAWUH KIAI





Oleh Moh. Ghufron Cholid

Bawalah apa saja yang bisa kamu bawa dari pondok ini, kalau tidak bisa membawa semua cukup bawa satu saja yang menandakan kamu santri Al-Amien. KH. Moh. Idris Jauhari

Berulangkali saya tertegun memikirkan intisari dari dawuh Kiai Idris, beragam ilmu telah saya terima namun dari sekian ilmu rasanya belum ada yang bisa saya bawa, yang dengannya saya bisa berkata santri Al-Amien. Tidak ada yang bisa saya ungkap kecuali, saya pernah belajar menulis puisi di Al-Amien tepatnya di Sanggar Sastra Al-Amien.

Saya dipertemukan dengan guru-guru puisi yang beragam. Tak terjumlah berapa kaskul yang pernah saya tamatkan sebagai tempat menulis puisi. Tak terhitung sudah berapa ribu puisi yang pernah saya tulis mulai nyantri di Al-Amien hingga saat ini.

Yang saya tahu jalan puisi sangat terjal dan penuh liku. Namun yang bisa saya bawa dari Al-Amien hanyalah puisi. Lewat puisi saya bisa berkata, saya santri Al-Amien. Saya menyadari, saya bukan orang yang pandai berpuisi.

"Orang yang berbakat kalah dengan orang yang tekun, orang yang berbakat tanpa belajarpun ia bisa memenangkan perlombaan namun ia cepat hilang dan tidak dikenang berbeda dengan orang tekun. Orang yang tekun mulanya tidak berbakat namun ia tetap istiqamah melakukannya dan orang seperti ini akan awet dan terus dikenang. Namanya terus disebut diberbagai moment!"

Paling tidak nasehat Kiai Idris itu salah satu dari sekian cara yang saya tempuh, istiqamah menulis puisi. Saya termasuk seorang yang memiliki impian yang terbilang sulit untuk diwujudkan, tapi impian itu kerap saya sampaikan di berbagai keadaan. Sayapun siap dengan resikonya, yang takkan mungkin luput dari cibiran dan tak menutup kemungkinan juga ada yang mendoakan.

Keliling dunia dengan puisi adalah impian saya, jikapun saya tidak bisa melaksanakan sepenuhnya paling tidak puisi saya yang keliling dunia.

Di pondok, saya kebagian edisi pertama dalam menulis puisi, ketika Majalah QALAM terbit secara nasional, puisi saya dimuat di majalah tersebut, demikian pula saat Al-Amien Prenduan memiliki web al-amien.ac.id, puisi saya juga terbit yang pertama selepas itu tak pernah dimuat lagi, seberapapun banyak saya mengirim.

Ketika buku puisi bersama berjudul Akar Jejak yang memuat puisi-puisi Penyair Al-Amien dalam 10 tahun terakhir, puisi-puisi saya juga dimuat, itupun lewat seleksi ketat guru puisi saya bernama Ust. Moh. Hamzah Arsa.

Tahun 2009 saya sudah diundang temu penyair lintas negara bertempat di Malaysia, namun saya tidak bisa hadir karena saya masih mengabdi di Al-Amien Prenduan.

Puisi kerap membawa saya bertualang, mengunjungi tempat-tempat tak terduga, kadang saya datang bersamaan dengan puisi, kadang puisi datang lebih dahulu dan kadang pula puisi saya lebih dahulu sampai tanpa kehadiran saya. Begitulah pertemuan saya dengan puisi, begitulah dawuh kiai saya lakoni.

Japan Foundation Jakarta adalah tempat pertama saya baca puisi, tempat yang sangat unik saya rasa karena tempat ini sangat istiqamah menerapkan orsinalitas. Puisi yang dibaca itu ditulis ke secarik kertas lalu dibumbuhi tanda tangan dan diletakkan dalam pigura lalu di pajang di dinding-dinding Japan Foundation Jakarta kala itu

UPSI Perak Malaysia (2012) adalah tempat pertama kali saya baca puisi di negeri jiran. Tahun pertama, saya berjumpa Dato Malim Ghozali Pk.

Tahun 2013 puisi saya ikut dimuat dalam buku puisi yang di dalamnya memuat puisi penyair dari berbagai negara dalam sebuah Kongres Penyair Lintas Negara ke-33 di Ipoh. Tahun yang sama, takdir membawa saya ke Brunei menikmati indah kampoeng air seraya menulis puisi.

Tahun 2014 diundang ke Peru oleh Mavi Marques untuk menghadir Kongres Penyair Sedunia Ke-34 namun saya tidak bisa datang karena terkendala Bahasa Inggris, saya menyesal ketika berada di Al-Amien Prenduan tak mendalami Bahasa Inggris.

Saya pelan-pelan mulai memahami betapa melaksanakan dawuh kiai sangat berbuah manis. Saya menyadari itu semua setelah menjadi alumni. Kini saya dengan puisi telah menjadi teman karib. Lewat puisi, saya bisa kembali ke masa silam dan mengisahkan sosok-sosok istimewa yang pernah mewarnai hidup ini. Lewat puisi pula, saya seolah kembali bersua dengan kiai-kiai yang telah memberikan warna ilmu Ilahi. Hingga kini menulis puisi nama lain dari hidup saya.

Dalam buku-buku puisi saya, Kamar Hati (Shell-Jagat Tempurung, 2012), Menemukan Allah (Pena House, 2016), Surga yang Dilahirkan (FAM Publishing, 2019) dan Bekal Termahal Seorang Istri (FAM Publishing, 2019) juga memuat puisi yang didekasikan untuk kiai sebagai jalan syukur masih diberikan keistiqomahan menulis puisi.

Torjunan, 10 Maret 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar